Nationalgeographic.co.id—Dalam kunjungannya ke Indonesia, Paus Fransiskus mendorong masyarakat lintas agama dan para pemimpin dunia untuk menghadapi perubahan iklim. Deklarasi bersama dengan para pemimpin keagamaan itu dilakukan saat mengunjungi Masjid Istiqlal, 5 September 2024.
“Eksploitasi (oleh) manusia terhadap ciptaan (Tuhan), rumah bersama kita, telah berkontribusi pada perubahan iklim, yang mengakibatkan berbagai konsekuensi destruktif seperti bencana alam, pemanasan global, dan pola cuaca yang tidak lagi dapat diprediksi,” terang deklarasi tersebut.
Selama bertugas, Paus Fransiskus punya perhatian lebih terhadap isu lingkungan dan perubahan iklim. Dalam sebuah video yang dikutip dari Reuters, Paus Fransiskus mengungkapkan kekhawatiran bahwa "jika kita mengukur suhu Planet ini, (suhunya) akan memberi tahu kita (bahwa) Bumi sedang demam dan sakit."
Melansir CBS pada 21 Mei 2024, Paus Fransiskus bahkan mengatakan situasi yang kini dihadapi dunia telah mencapai "titik yang tidak bisa kembali". Dia mengutarakan bahwa planet ini merasakan dampak pemanasan global yang menjadi tanggung jawab para pemimpin dunia untuk mengambil tindakan.
"Menyedihkan, tetapi begitulah adanya. Pemanasan global adalah masalah serius," lanjut Paus Fransiskus. "Perubahan iklim saat ini adalah jalan menuju kematian."
Marcel Poorthuis lewat makalah "Abrahamic Religions and the Environment: Intimate Strangers?" dalam Ecotheology - Sustainability and Religions of the World mengungkapkan bahwa agama Abrahamik, termasuk Katolik di dalamnya, memiliki pemahaman ekologi yang bersifat antropogenik. Pandangan ini memahami bahwa manusia, sebagai ciptaan Tuhan, punya hak istimewa sebagai pengelola alam untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan bertanggung jawab melestarikannya.
Laudato Si', Ensiklik Lingkungan Paus Fransiskus
Ekologi antropogenik pada masyarakat keagamaan tertuang ketika Paus Fransiskus mengambil langkah besar dalam seruannya terhadap pelestarian alam. Pada 2015, Paus Fransiskus ensiklik yang membahas keberlanjutan kehidupan Bumi bertajuk Laudato si' (Terpujilah Engkau). Di dalamnya, Paus Fransiskus menyerukan perlindungan terhadap Bumi sebagai "rumah kita bersama".
Lewat ensiklik tersebut, Paus Fransiskus menyerukan perlunya kesadaran di tengah krisis lingkungan yang disebabkan oleh manusia. Hal ini tertulis di paragraf 101, di mana Paus Fransiskus dengan tegas bahwa kesadaran lingkungan tiada gunanya tanpa "menggambarkan gejala-gejala krisis ekologis tanpa mengakui akarnya dalam manusia".
Laudato si' adalah sabda reflektif atas perkembangan manusia yang mengeksploitasi alam secara berlebihan. Paus Fransiskus menyerukan "pertobatan ekologis" sebagai salah satu cara memperbaiki kerusakan alam.
Pertobatan ini membutuhkan upaya kolektif, karena manusia tidak bisa secara individu untuk memperbaiki alam. Sebab, dari apa yang diuraikan dalam Laudato Si', Paus Fransiskus menyadari bahwa perbaikan lingkungan harus menyelesaikan permasalahan kompleks, termasuk ketimpangan sosial dan politik yang terjadi secara global.
Baca Juga: Ketika Paus Fransiskus Gugat Keadilan Iklim, Negara Kaya Kena Semprot
Setahun sebelum Laudato Si' dipublikasikan, wacananya ditentang oleh gereja-gereja konservatif, terutama di AS, yang menyangkal adanya perubahan iklim. Pihak gerakan evangelis AS yang kuat bahkan mengatakan Paus Fransiskus yang menyatakan gerakan lingkungan sebagai "tidak alkitabiah" dan agama palsu.
Rupanya, pandangan Paus Fransiskus terhadap pemuka agama Kristiani menjadi fokus lewat ensikliknya sebagai pihak yang punya peran dalam kesadaran lingkungan. Dia bahkan mengkritik kalangan religius yang meremehkan "ungkapan kepedulian terhadap lingkungan, dengan alasan realisme dan pragmatisme".
Langkah perhatian terhadap perubahan iklim dan isu lingkungan Paus Fransiskus punya dampak yang sangat besar. Ottmar Edenhoffer, direktur Postdam Institute for Climate Impact Research di Jerman berpendapat di Times, bahwa ensiklik ini memperingatkan bahwa perubahan iklim adalah masalah bersama, terlepas apa pun agamanya.
Sampai saat ini, ungkap Edenhoffer, dampak pernyataan Paus Fransiskus meluas ke ranah kebijakan komitmen iklim. Ensiklik yang disampaikan Paus Fransiskus menjadi "simbol yang kuat," lanjutnya. "Vatikan memainkan peran penting dalam negosiasi Perjanjian Paris [untuk membatasi pemanasan global], dan sebagai aktor sangat membantu."
Atas seruan ini, Vatikan menjadi pihak yang terlibat dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCC) pada 2022.
“Peduli terhadap iklim, peduli terhadap bumi, ini sekarang menjadi bagian dari ajaran Gereja. Orang-orang di seluruh dunia menerima pesan tersebut dan mengubahnya menjadi tindakan nyata. Itulah warisannya, dan itu akan bertahan lama," terang Tomas Insua, executive director Laudato Si' Movement, dikutip dari Times.