Alih-alih Satukan Tiongkok, Cao Cao Malah Kalah Sebelum Bertempur

By Galih Pranata, Kamis, 12 September 2024 | 08:00 WIB
Patung Cao Cao (Tsao Tsao) di Museum Makam Tsao Tsao di Kota Anyang, Provinsi Henan, Tiongkok bagian tengah. Keagungannya juga tak luput dari kegagalan telaknya dalam upaya menyatukan kembali Tiongkok. (Xinhua)

Nationalgeographic.co.id—Dinasti Han memikul sejarah panjang di tanah Tiongkok. Mereka memerintah sejak tahun 202 SM hingga 220 M, dan mengalami kemunduran pada akhirnya.

Sebelum keruntuhannya, meletus banyak pemberontakan, seperti Pemberontakan Serban Kuning yang melanda kekaisaran. Kenyataannya, tentara kekaisaran tidak berdaya untuk menumpasnya.

Dalam keputusan yang kurang bijaksana, pemerintah Han mengeluarkan seruan untuk meminta bantuan kepada orang-orang bertubuh kuat dan terlatih berperang dari luar istana Han.

Dengan cepat orang-orang bertubuh kekar dan terlatih itu segera mengumpulkan pasukan mereka sendiri untuk membantu Dinasti Han dalam meredam para pemberontak. Alhasil, mereka berhasil memadamkan pemberontakan.

Namun, keberhasilan tersebut segera menjadi bumerang. Pasukan orang-orang kuat yang berada di bawah komando kerajaan, kemudian berbalik menjadi panglima perang yang justru menimbulkan ancaman lebih besar bagi pemerintah Han.

"Para panglima perang baru itu saling bertarung untuk merebutkan tampuk kekuasaan Dinasti Han, dan pemerintah kekaisaran tidak dapat mengendalikan kekacauan yang telah ditimbulkannya," tulis Khalid Elhassan.

Khalid menulis kisah tentang kekacauan yang terjadi di dalam istana Han kepada History Collection dalam artikelnya berjudul Biggest Losers In History yang diterbitkan pada 25 Juli 2023.

Alhasil, Tiongkok terpecah menjadi wilayah kekuasaan independen de facto yang diperintah oleh panglima perang, dan kaisar direduksi menjadi boneka dan pemimpin boneka.

Di antara kemelut, seorang panglima perang bernama Tsao Tsao (Cao Cao) muncul ke permukaan. Cao Cao dengan personal brand-nya membuktikan dirinya sebagai jenderal dan politisi yang sangat cakap.

Cao Cao memulai kariernya sebagai pejabat di bawah pemerintahan Han dan memegang berbagai jabatan termasuk kepala keamanan distrik di ibu kota dan kanselir sebuah kerajaan. 

"Dia mengalahkan panglima perang Tiongkok utara, dan menyatukannya kembali Tiongkok atas nama kaisar," imbuh Khalid. Setelah selesai, dia mengalihkan perhatiannya ke Tiongkok selatan.

Baca Juga: Tiongkok Denda Perusak Lingkungan dengan Kredit 'Blue Carbon', Efektifkah?

Dengan pasukan besar yang dia klaim berjumlah lebih dari 800.000 orang, dia berbaris untuk mengalahkan saingan utamanya yang tersisa, panglima perang selatan, Sun Quan dan Liu Pei, demi penyatuan kembali Tiongkok.

Namun, harapannya berakhir dengan kekalahan yang memalukan, karena Cao Cao yang semula tampil sebagai pahlawan, malah kemudian dipecundangi lawannya. Kegagalan yang mengubah dirinya dari seorang pemenang menjadi pecundang yang selalu diingat dalam sejarah.

Cao Cao menyiapkan pasukannya dalam skala besar: perkiraan modern menyebutkan pasukannya mencapai sekitar 250.000 orang. Itu masih merupakan pasukan yang jauh lebih banyak jumlahnya daripada musuh-musuhnya, yang bahkan ditambah dengan pasukan gabungannya pun tidak lebih dari 50.000 orang.

Dengan kuantitas yang sangat menguntungkannya, Cao Cao tiba di Sungai Yangtze, jalur air utama Tiongkok selatan, tempat ia mengumpulkan armada untuk membantu operasinya. Namun, panglima perang utara dan anak buahnya tidak terbiasa dengan peperangan laut.

Nama Cao Cao tak asing bagi penggemar Kisah Tiga Kerajaan. Sebagai diktator militer, ia dianggap sebagai jenderal terampil sekaligus penjahat cerdas. (Summer Palace Beijing)

Seperti yang kita saksikan, jumlah angkatan lautnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan orang selatan, tetapi tidak seperti pasukan lawannya yang terbiasa dengan pertempuran laut, angkatan laut utara terlihat lemah dan kurang berpengalaman.

Musuh-musuhnya mengeksploitasi kelemahan pasukan Cao Cao pada Pertempuran Tebing Merah yang terjadi pada tahun 208. Dengan siasatnya, pihak Tiongkok Selatan mengirim agen rahasia untuk menjebak Cao Cao agar gagal.

Agen rahasia dari Tiongkok Selatan itu bergerak, menyelinap dan membujuk panglima perang utara untuk merantai kapal-kapalnya bersama-sama dengan dalih meningkatkan stabilitas pergerakan mereka, dan mengurangi mabuk laut anak buahnya.

Berikutnya, seorang laksamana selatan menawarkan diri untuk membelot beserta dengan kapal-kapalnya. Cao Cao begitu saja memercayainya dan siap menyambut para pembelot.

Tanpa sepengetahuannya, kapal-kapal yang "membelot" telah diubah menjadi kapal ranjau yang diisi dengan bahan-bahan yang mudah terbakar. Kapal pembelot ini menjadi jebakan untuk membakar kapal-kapal milik pasukan Cao Cao.

Awak kapal Tiongkok Selatan yang jumlahnya sangat sedikit, segera mengarahkan mereka mendekati armada Tiongkok Utara, membakarnya, lalu melarikan diri dengan perahu-perahu kecil.

Angin membawa mereka ke armada Cao Cao yang dirantai, yang kapal-kapalnya tidak bisa bergerak, tidak dapat bermanuver dan melarikan diri, hancur dalam kobaran api yang besar dengan kepulan asap hitam mengerikan.

Cao Cao dipukul mundur dan kebakaran armada lautnya menjadi kekalahan telak, di mana pasukannya yang sangat besar harus hancur sebelum benar-benar bertempur. Kekalahannya mengakhiri upaya untuk menyatukan kembali Tiongkok. Pada akhirnya, Tiongkok terbagi menjadi tiga kerajaan. 

Alih-alih menjadi seorang pemenang yang bercita-cita menyatukan kembali Tiongkok, Cao Cao tercatat dalam sejarah sebagai pecundang kalah telak sebelum bertempur.

Namun, banyak sejarawan yang menganggap ia sebagai negarawan yang andal. Bahkan dibanyak literatur, Cao Cao dikenal sebagai diktator militer, atau yang lebih ekstrem, penjahat cerdas.