Efek Pulau Panas Perkotaan: Curah Hujan Kota Lebih Tinggi, Rentan Banjir

By Utomo Priyambodo, Senin, 16 September 2024 | 10:05 WIB
Banjir di Jakarta pada 2014. Efek pulau panas perkotaan memengaruhi kota-kota besar dunia, mengakibat anomali curah hujan dan banjir bandang. (danikancil/Getty Images)

Nationalgeographic.co.id—Dampak urbanisasi terhadap suhu sudah cukup diketahui: kota sering kali lebih hangat daripada daerah pedesaan di sekitarnya. Ini disebut efek pulau panas perkotaan.

Yang jarang diketahui orang adalah bahwa pulau panas perkotaan memiliki dampak serupa yang sama pentingnya: anomali curah hujan perkotaan. Simpelnya, keberadaan pembangunan perkotaan secara terukur memengaruhi jumlah curah hujan di suatu daerah.

Dalam makalah studi baru yang terbit di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, para peneliti di The University of Texas at Austin (UT Austin) mencari bukti anomali curah hujan di 1.056 kota di seluruh dunia. Mereka menemukan lebih dari 60% kota tersebut menerima lebih banyak curah hujan daripada daerah pedesaan di sekitarnya.

Dalam beberapa kasus, perbedaannya bisa signifikan. Misalnya, para peneliti menemukan bahwa Houston, secara rata-rata, akan menerima hampir 5 inci lebih banyak hujan per tahun daripada daerah pedesaan di sekitarnya.

Ini dapat memiliki implikasi yang luas. Yang paling serius adalah banjir bandang yang semakin parah di daerah perkotaan yang padat bangunan.

Variasi curah hujan perkotaan merupakan sesuatu yang telah diketahui para ilmuwan selama beberapa dekade, tetapi tidak pernah dalam skala global. Penelitian sebelumnya hanya mengamati kota-kota tertentu dan kasus badai, kata penulis penelitian Xinxin Sui, seorang mahasiswa doktoral di Cockrell School of Engineering, UT Austin.

Untuk makalah ini, Sui dan para peneliti lain menyelidiki kumpulan data curah hujan dari satelit dan sistem radar. Mereka memeriksa anomali curah hujan harian untuk 1.056 kota ini dari tahun 2001 hingga 2020.

"Secara umum, kami menemukan bahwa lebih dari 60% kota-kota global ini memiliki lebih banyak curah hujan (daripada pedesaan di sekitarnya). Kemudian kami membandingkannya dengan zona iklim yang berbeda dan menemukan bahwa jika iklim lokal lebih panas, jika lebih basah, maka mungkin memiliki anomali curah hujan yang lebih besar dibandingkan dengan kota-kota di tempat yang lebih dingin dan lebih kering," kata Sui seperti dikutip dari keterangan tertulis UT Austin.

Selain Houston, daftar kota-kota besar dengan anomali curah hujan terbesar meliputi Ho Chi Minh, Vietnam; Kuala Lumpur, Malaysia; Lagos, Nigeria; dan wilayah metropolitan Miami-Fort Lauderdale-West Palm Beach.

Banjir Jakarta 01/01/2019 menganyutkan beberapa mobil. (Syifa Nuri Khairunnisa/Kompas.com)

Dev Niyogi, peneliti lainnya dalam studi ini yang juga seorang profesor di Jackson School of Geosciences dan Cockrell School of Engineering di UT Austin, menjelaskan bahwa daerah perkotaan cenderung mengambil hujan dari satu lokasi dan memusatkannya di lokasi lain, seperti spons yang diremas.

Baca Juga: Selidik Kota Hujan, Meteorolog Ungkap Kenapa Bogor Kerap Diguyur Hujan

"Jika Anda menjepit satu bagian spons, air akan turun lebih deras dari satu sisi," jelasnya. "Jumlah air yang ada di spons sama, tetapi karena sekarang atmosfer mengalami tekanan dinamis, Anda memiliki kemampuan lebih untuk mengambil air dari lokasi itu."

Meskipun jarang terjadi, beberapa daerah perkotaan sebenarnya menerima lebih sedikit curah hujan daripada daerah pedesaan di sekitarnya. Hal ini biasanya terjadi di kota-kota yang terletak di lembah dan dataran rendah, di mana pola curah hujan dikendalikan oleh pegunungan di dekatnya. Kota-kota yang paling menonjol adalah Seattle, Washington; Kyoto, Jepang; dan Jakarta, Indonesia.

Ada beberapa alasan mengapa sebagian besar kota menerima lebih banyak curah hujan daripada tetangga pedesaan mereka. Rekan penulis Liang Yang, profesor di Jackson School, mengatakan salah satu faktor kunci adalah keberadaan gedung-gedung tinggi, yang menghalangi atau memperlambat kecepatan angin. Hal ini menyebabkan konvergensi udara menuju pusat kota.

"Bangunan-bangunan semakin meningkatkan konvergensi ini dengan memperlambat angin, yang menghasilkan gerakan udara ke atas yang lebih kuat. Gerakan ke atas ini mendorong kondensasi uap air dan pembentukan awan, yang merupakan kondisi kritis untuk menghasilkan curah hujan dan presipitasi," kata Yang.

Para peneliti menemukan bahwa populasi memiliki korelasi terbesar dengan anomali presipitasi perkotaan dibandingkan dengan faktor lingkungan dan urbanisasi lainnya. Hal ini karena populasi yang lebih besar biasanya menciptakan daerah perkotaan yang lebih padat dan lebih tinggi, bersama dengan lebih banyak emisi gas rumah kaca, dan karenanya lebih terasa panas, kata Niyogi.

Fenomena ini memiliki implikasi untuk semua kota yang menuju masa depan perubahan iklim, kata Yang. Kondisi ini menggambarkan bagaimana peningkatan kemungkinan curah hujan di kota-kota, yang dikombinasikan dengan permukaan kedap air yang membentuk lingkungan perkotaan mereka, dapat memicu terjadinya banjir bandang.

"Menggabungkan kedua faktor ini berarti kita harus mengembangkan cara-cara inovatif untuk bersiap menghadapi banjir bandang," tegas Yang.