Masyarakat Adat Garda Terdepan Kelestarian Taman Nasional Wakatobi

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 23 September 2024 | 07:00 WIB
Tamburu, pasukan perang Barata Kahedupa, yang menjadi bagian warisan budaya leluhur Kepulauan Wakatobio, Sulawesi Tenggara. pada 2014 pemerintah Kabupaten Wakatobi merevitalisasi Lembaga Adat Barata Kahedupa sebagai mitra pemerintah dalam pelestarian budaya, adat istiadat, agama, dan sejarah. Kini, masyarakat adat menjadi garda terdepan dalam pelestarian di Taman Nasional Wakatobi. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Peran masyarakat adat begitu penting dalam pelestarian keanekaragaman hayati di Taman Nasional Wakatobi. Sejatinya mereka memiliki etika ekologi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut etika ekologi, setiap individu harus mempertimbangkan nilai moral dalam setiap tingkah laku mereka terhadap makhluk lain. Semua makhluk merupakan bagian dari warga dan dianggap sebagai elemen fungsional kehidupan.

Masyarakat adat di wilayah konservasi ini memiliki nilai-nilai tradisional dalam melestarikan sumber daya alam. Mereka menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, pengaturan ruang pemanfaatan, dan melindungi daerah tertentu melalui larang ambil dalam jangka waktu tertentu.

Masyarakat adat juga memiliki pengetahuan yang sangat penting dalam menjaga keanekaragaman hayati. Mereka telah membantu dalam pengawasan terkait pelanggaran lingkungan. Kita pun harus banyak belajar kepada masyarakat adat yang telah menjadi garda terdepan dalam pelestarian keanekaragaman hayati. Kekayaan alam itu seharusnya menjadi sumber kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan.

Annas Radin Syarif, Deputi Sekjen AMAN untuk Ekonomi dan Dukungan Komunitas dalam sebuah acara bersama jurnalis di Jakarta pada Agustus silam, mengungkapkan bahwa masyarakat adat memiliki alasan yang kuat untuk menjadi penjaga utama dari wilayah konservasi. Mereka memiliki kewajiban adat untuk melindungi wilayah konservasi. Mereka memiliki fungsi-fungsi ruang adat dan sistem pengetahuan yang memandu mereka mengelola wilayah secara berkelanjutan. "Selain itu, ada hukum adat berupa sanksi yang membuat mereka sangat menjaga wilayah konservasi," ujar Annas.

Kegiatan suatu pagi di Tomia, Kepulauan Wakatobi, para ibu memunguti ikan opuru yang beterbaran di jaring hasil melaut para suami mereka. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Barata Kahedupa, pemerintahan masyarakat adat yang berpusat di Pulau Kaledupa, Kepulauan Wakatobi. Lembaga adat ini memiliki wilayah budaya dari Pulau Wangi-wangi, Pulau Tomia, sampai Pulau Binongko. Setelah vakum selama beberapa dekade, pada 2014 pemerintah Kabupaten Wakatobi merevitalisasi Lembaga Adat Barata Kahedupa sebagai mitra pemerintah dalam pelestarian budaya, adat istiadat, agama, dan sejarah. Dua tahun kemudian, sistem pemerintahan adatnya kembali dihidupkan.

Pun, peran Barata Kahedupa dalam upaya menjaga kelestarian sumber daya alam telah diperkuat oleh Peraturan Bupati Wakatobi No. 44 Tahun 2018 tentang perlindungan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut berbasis masyarakat hukum adat Barata Kahedupa dalam wilayah Pulau Kaledupa di Kabupaten Wakatobi.

Tak jauh dari pesisirnya, rumah adat Kamali masih tampak menyala-nyala dalam suasana ulang tahun ke-764 pemerintahan adat Barata Kahedupa. Dahulu rumah adat ini merupakan istana dan kediaman raja sekaligus tempat mengatur jalannya pemerintahan, namun kini berubah peran sebagai tempat ritual adat dan elemen wisata.  

Lima lelaki Tamburu, kesatuan pasukan perang berbusana adat, menyambut tetamu dengan derap tambur dan gerakan tombak nan rancak pada 18 September silam. Mereka membuka acara sosialisasi prosedur operasi standar (SOP) tentang perlindungan dan pengamanan bersama masyarakat kawasan Taman Nasional Wakatobi. 

Acara digelar oleh Balai Taman Nasional Wakatobi, yang didukung Yayasan Konservasi Alam Nusantara. Tujuan sosialisasi ini demi terwujudnya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan berbasis masyarakat. Upaya ini dicapai melalui penetapan wilayah perlindungan, prosedur pelaksanaan, dan para pemangku kepentingan dalam kegiatan perlindungan.

“Pengelolaan sumber daya alam di Taman Nasional Wakatobi harus mampu memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat sekitar dengan tetap mengedepankan aspek keberlanjutan ekologi dan ekosistem dengan melibatkan masyarakat," ungkap Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi Darman dalam rilis yang diterbitkan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).

Baca Juga: Lewat Buku dan Alam, Anak-Anak Wakatobi Belajar Pelestarian Mangrove

Pelibatan peran masyarakat adat begitu penting dalam pencegahan praktik-praktik pemanfaatan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan, imbuh Darman. Selain turut berperan dalam pengawasan kawasan pemanfaatan oleh masyarakat adat dan wilayah pesisir berpenghuni, mereka juga mendapatkan penyuluhan terkait konservasi, terlibat dalam pengamanan dari aktivitas yang merusak, sekaligus terlibat dalam pengawasan pemanfaatan sumber daya alam di Taman Nasional Wakatobi.

Lakina Barata Kahedupa—atau ketua masyarakat adat di Pulau Kaledupa—La Ode Saidin mengatakan, “Masyarakat Wakatobi tumbuh dari nilai-nilai tradisional dalam mengelola sumber daya alam, baik di darat maupun di laut."

Menurutnya, sistem adat dan formal memiliki kesamaan tujuan, yakni melestarikan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati. Kedua sistem ini dapat dikolaborasikan melalui prosedur operasi standar yang telah disusun, ungkapnya dalam rilis resmi. "Maka dari itu, kami berharap SOP ini dapat terus disosialisasikan pada daerah lain di Wakatobi," ungkapnya, "sehingga masyarakat dan para pihak lainnya memiliki kesamaan pandang tentang pentingnya melindungi dan melestarikan kawasan Taman Nasional Wakatobi."

Koordinator Program Wakatobi YKAN La Ode Arifudin, yang lahir dan tumbuh di Kepulauan Wakatobi, mengungkapkan bahwa pertemuan ini mengajak kesadaran bersama untuk menjaga sumber daya alamnya secara berkelanjutan. "Ketika sumber daya alam rusak, apakah pihak luar yang merasakan dampaknya?" ujar Arifudin beretorika. "Tidak. Ini pasti kita yang akan merasakan dampaknya."

Pada kesempatan itu Arifudin ingin mendorong rasa kepemilikan terhadap sumber daya alam, supaya pengelolaan ini tetap terus berkelanjutan. "Apabila ada saudara-saudara kita yang berlaku curang dalam pengelolaan, kita bisa melakukan pendekatan untuk berbagi pengetahuan. Mudah-mudahan dukungan ini terus ada dan terus berkelanjutan," ungkapnya mengakhiri acara sosialisasi di Kamali Barata Kahedupa.  

Taman Nasional Wakatobi berada di kawasan Segitiga Terumbu Karang, lumbung ikan dunia. Kawasan ini membentang di sekitar Filipina, Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Timor-Leste. Taman nasional ini merupakan rumah bagi mamalia laut, burung pantai, ragam ikan dan lokasi pemijahannya, penyu dan lokasi bertelurnya, berikut ekosistem mangrove, ekosistem padang lamun, dan ekosistem terumbu karangnya.

Pada 2012, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan kawasan Taman Nasional Wakatobi sebagai cagar biosfer. Makna dari cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri atas ekosistem asli, ekosistem unik, dan atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan.

Seorang warga Pulau Tomia berjalan menuju daratan dengan sebaskom ikan bisuku. Saat laut surut, warga turun ke peisir untuk cigi-cigi, yakni memancing ikan tanpa umpan. Mereka memiliki aturan adat untuk keberlanjutan dengan cara tidak menggunakan jaring ketika aktivitas cigi-cigi. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Indonesia menjadi kunci kelestarian Bumi. Apabila hari ini kita termasuk negara yang memiliki megadiversitas, masyarakat adatlah yang telah menjaganya. Atas pemikiran itulah tradisi-tradisi mereka harus berlanjut demi menjaga kelestarian pusparagam kehidupan planet ini.

Masyarakat adat adalah para pemilik bahasa, agama leluhur dan sistem pe­­ngetahuan—termasuk mengelola sumber daya alam dengan berkelanjutan—yang bermukim di kawasan warisan leluhur. Mereka menjadi garda terdepan pelesta­rian alam, baik daratan maupun lautan. Kita meyakini, kawasan yang menjadi hak ulayat mereka menjadi penyerap karbon terbesar yang berperan dalam miti­gasi perubahan iklim.

Namun, sebagian masyarakat adat di negeri ini masih terpinggirkan dan sulit mengakses layanan sosial. Sampai hari ini pun sebagian masih berjuang untuk mendapat­kan hak ulayat yang te­rampas. Pada saat yang sama, mereka bergelut memperta­hankan budaya yang mulai meluntur. Mereka paham, ketika budaya itu hilang, hilang pula berkah dari hutan dan lautan.