Mengungkap Asal-usul Keju yang Dikalungkan pada Mumi Tarim Basin

By Sysilia Tanhati, Jumat, 27 September 2024 | 14:00 WIB
Keju tertua di dunia ditemukan dalam bentuk kalung yang dikenakan pada mumi Tarim Basin. Bagaimana asal-usulnya? (Yichen Liu)

Dr. Fu dan timnya mengumpulkan sampel keju yang ditemukan di leher tiga mumi dari Cekungan Tarim. Dengan mengisolasi fragmen DNA kuno, mereka membandingkannya dengan genom dari hewan modern dan mikroba pembuat keju. Analisis mereka mengungkap jejak DNA sapi dan kambing. Hal ini menunjukkan bahwa susu dari kedua hewan tersebut digunakan dalam produksi keju kuno. Mereka juga mengidentifikasi DNA mikroba yang bertanggung jawab untuk memfermentasi susu.

Keju kefir digunakan oleh suku nomaden

Para peneliti menemukan spesies bakteri dan ragi yang membentuk butiran kefir. Kefir digunakan untuk memfermentasi susu menjadi kefir seperti yoghurt dan keju kefir yang lembut dan asam. Keju kefir adalah produk susu fermentasi yang dibuat menggunakan bakteri, ragi, dan kompleks jamur, seperti kefir modern.

Penelitian ini juga mengungkap bahwa keju di leher mumi berasal dari susu sapi dan kambing. Selain itu, analisis DNA menunjukkan bahwa mikroba yang digunakan dalam proses pembuatan keju secara genetik mirip dengan yang ditemukan dalam produk susu Tibet modern. Juga jenis kefir dari Asia Timur.

Hal ini menunjukkan bahwa pembuatan kefir mungkin memiliki dua asal geografis yang berbeda: di Xinjiang dan Kaukasus. Bahkan, kemungkinan besar penyebaran mikroba kefir mengikuti pergerakan kelompok nomaden di seluruh padang rumput Eurasia.

Saat kelompok nomaden bermigrasi, mereka memperdagangkan barang, termasuk produk susu dan wadah untuk menyimpannya. Aktivitas ini meninggalkan jejak praktik fermentasi susu yang berlanjut hingga zaman modern. Di Xinjiang, misalnya, makanan dan minuman olahan susu masih menjadi makanan pokok.

Makam Xiaohe, tempat mumi dan keju ditemukan, memiliki sejarah geografis dan lingkungan yang menarik. Dulunya merupakan daerah subur di tepi sungai, perubahan aliran air memaksa masyarakat untuk pindah. Masyarakat meninggalkan gurun di sekitarnya untuk merambah tanah. Perubahan iklim yang cepat membantu mumifikasi tubuh secara alami, mengawetkan rambut, kulit, pakaian, dan. “Termasuk keju kuno mereka,” tambah Pandey.

Bagi Dr. Fu, mengidentifikasi mikroba yang digunakan dalam proses pembuatan keju itu sangat menarik. Praktik ini dapat mengungkap informasi penting tentang kehidupan dan interaksi masyarakat kuno. Keberadaan keju di situs pemakaman menunjukkan bahwa keju tersebut sangat berharga. Penggunaan berbagai sumber susu dan bakteri tertentu mengisyaratkan adanya potensi pertukaran budaya. Yaitu antara masyarakat di Cekungan Tarim, budaya Xiaohe, dan masyarakat lain dari stepa Eurasia.

Meskipun mungkin sangat berharga, mencicipi keju kuno tersebut mungkin bukan pengalaman yang menyenangkan. Pada tahun 1930-an, para arkeolog mengambil sampel keju yang ditemukan di sebuah makam Mesir. Sebuah makalah tahun 1942 mencatat bahwa keju tersebut tidak berbau dan terasa berdebu.

Dr. Fu dan timnya bersemangat untuk mencoba membuat ulang keju kuno tersebut berdasarkan temuan mereka.

“Saya pikir langkah selanjutnya, kita harus membuatnya,” simpulnya.