Sejarah Kontroversial dalam Dunia Pendidikan Setiap Satu Oktober

By Galih Pranata, Selasa, 1 Oktober 2024 | 14:00 WIB
Potret AH Nasution yang sedang menjalani perawatan kaki yang terluka, tengah berdiskusi dengan Ibnu Subroto pada malam 1 Oktober 1965 di Markas Besar Kostrad, Jakarta. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Selepas upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila, ruang depan kelas jadi mimbar rutinan. Mimbar yang di mana siswa di berbagai jenjangnya menagih para guru Sejarah untuk mendongeng ulang isu sejarah kontroversial.

Ya, peristiwa G-30-S atau Gestapu "sampai saat ini masih dianggap peristiwa sejarah paling kontroversial." tulis Tsabit Azinar Ahmad dalam bukunya Sejarah Kontroversial di Indonesia: Perspektif Pendidikan, terbitan tahun 2016.

Dianggap sebagai isu kontroversial karena memiliki banyak sudut pandang sejarah. Terlebih, jika berbicara tentang dalang dari peristiwa tersebut. Mulai dari PKI itu sendiri, hingga keterlibatan unsur asing, CIA dari Amerika Serikat.

Semakin jauh, G-30-S memberikan perubahan yang signifikan terhadap pola-pola sosial yang ada setelahnya. Sentimen terhadap penggiat partai, hingga terduga komunis, masuk dalam pembantaian massal sebagai upaya pembersihan ideologi komunis.

Robert Cribb mencatat dalam bukunya, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966 (1990) bahwa jumlah orang yang mati dibantai mencapai lima ratus ribu jiwa. Terlebih, anak turunnya mengalami sejumlah diskriminasi.

Menurut Tsabit Azinar, sifat kontroversial yang melekat dalam tragedi berdarah dan dampak yang melingkupinya, terjadi akibat keterbatasan sumber dan aspek subjektivisme. Belum tergalinya data-data terkait secara menyeluruh, membuat peristiwa ini pincang.

Bagaimana pun, Tsabit menggambarkan bahwa subjektivisme sejarah telah menggiring opini publik untuk mendukung yang satu dan menyerang yang lain. Dalam hal ini, seorang sejarawan memiliki tanggung jawab moral yang besar dalam mengungkap data sejarah.

Ditambah lagi, peran serta unsur politik membuat jalan sejarah menjadi suram. Subjektivisme muncul karena adanya faktor kepentingan sosial dan politik dalam proses historiografinya.

Di samping itu, historiografi dapat menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan. Ya, faktor politis bisa menjadikan historiografi sebagai kendaraannya. Narasinya kemudian menjadi bias arahnya. Hal itu yang menyelimuti materi sejarah G-30-S dalam dunia pendidikan.

Potret para siswa SMA Negeri 1 Klaten dengan bendera Indonesia. Sejarah kontroversial juga dapat menjadi bagian dari pembentukan sikap kepada peserta didik sebagai warga negara yang baik. (Galih Pranata)

Menariknya, Tsabit memunculkan perspektif liyan tentang sejarah kontroversial dalam dunia pendidikan. Alih-alih menghindari isu yang kontroversial, ia mengungkap adanya potensi dan manfaat dari kehadiran materi ini.

Baca Juga: Gerakan Perlawanan Haji Misbach: Islam Merah dan Komunis Hijau