Sejarah Kontroversial dalam Dunia Pendidikan Setiap Satu Oktober

By Galih Pranata, Selasa, 1 Oktober 2024 | 14:00 WIB
Potret AH Nasution yang sedang menjalani perawatan kaki yang terluka, tengah berdiskusi dengan Ibnu Subroto pada malam 1 Oktober 1965 di Markas Besar Kostrad, Jakarta. (Wikimedia Commons)

Tsabit mengutip dari Keith Barton dan Alan McCully dari jurnalnya berjudul Teaching controversial issues where controversial issues really matter (2007), bahwa materi yang kontroversial dapat menghadirkan suasana demokratis di sekolah.

Menurutnya, isu-isu sejarah kontroversial, termasuk pembelajaran sejarah, mampu membangkitkan sikap menghormati perbedaan pendapat tentang suatu permasalahan. Keterbukaan pikiran dibutuhkan sebagai analisis dari kajian yang kontroversi.

Guru dapat memberikan berbagai pandangan secara faktual tentang seluk beluk G-30-S dengan tanpa menambahkan atau mengurangi yang terdapat dalam wawasan kesejarahannya.

Dalam hal ini, peran pentingnya adalah guru sebagai fasilitator yang kemudian memantik banyak pertanyaan dalam kepala peserta didik sehingga dapat memunculkan suasana belajar yang lebih hidup.

Carolyn R. Fallahi dan Joseph D. Haney dalam jurnalnya berjudul Using Debate In Helping Students Discuss Controversial Topics (2007) mengemukakan jika kehadiran isu sejarah kontroversial di dalam kelas dapat membentuk siswa sebagai warga negara yang baik.

Kebanyakan dari situasi pembelajaran yang mengangkat isu kontroversial, membuat pandang mata siswa lebih menyala. Sejarah kontroversial dapat menggugah siswa dari kantuknya. 

Poin pentingnya, mereka tertantang dan tergerak untuk bisa turut mengutarakan keresahannya dan argumentasinya hingga muncul akal-akal kritis mereka. Partisipasi mereka dalam bagian dari sejarah bangsanya adalah kunci dari warga negara yang baik.

Azinar meneruskan bahwa pembelajaran sejarah yang kontroversial memberikan pandangan tentang adanya pandangan kritis dari suatu peristiwa. Dalam hal ini, mereka perlu memahami bahwa narasi sejarah bersifat terbuka.

 "Narasinya terbuka terhadap perubahan dan simpulan yang dihasilkan belum bersifat final," terus Azinar. Hal ini dapat bermanfaat kepada masyarakat secara luas juga untuk tidak mengambil simpulan atau putusan secara tergesa.

Selain dari dongengan guru di depan kelas, guru juga dapat mengimbau kepada peserta didik untuk membaca lebih jauh dan menelaah lebih mendalam tentang sebenar-benarnya kontroversi yang mereka hadapi.

Banyak novel gubahan yang ditulis oleh sejumlah korban tapol pasca peristiwa mengerikan itu. Seperti halnya Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, dan beberapa generasi kedua yang hidup dalam sentimen masyarakat.

Mereka menggubah sejumlah karya yang fenomenal tentang peristiwa yang melingkupi tragedi paling berdarah dalam Sejarah Indonesia. Sumber kritis ini perlu diungkap dan dibaca kembali sebagai sarana diskusi di dalam kelas.

Kelas yang hidup dengan dialektika, saling mengungkap data, dan berbantah-bantahan dalam setiap kekeliruan adalah bagian dari upaya pembelajaran yang bermakna. Lantas, masih perlu kah mengalihkan isu lain untuk tidak membahasnya setiap satu Oktober?