Nationalgeographic.co.id—Salah satu pelaut pemberani yang hilang dalam ekspedisi Arktik Franklin pada 1845 telah diidentifikasi menggunakan sampel DNA. Namanya adalah Kapten James Fitzjames, seorang perwira senior di atas kapal HMS Erebus yang lahir pada 27 Juli 1813.
Studi terbaru telah menyingkap nasib suram yang menimpa Fitzjames dalam bencana ekspedisi yang mengerikan tersebut. Studi terbaru tentang jasadnya menyoroti sisi gelap lain dari kisah pelayaran tersebut: Fitzjames kemungkinan menjadi sasaran kanibalisme oleh rekan-rekannya di kapal.
Fitzjames diidentifikasi menggunakan analisis genetik dan silsilah oleh para ilmuwan di University of Waterloo dan Lakehead University di Kanada.
DNA-nya diperoleh dari gigi yang ditemukan di situs arkeologi di Pulau King William di Nunavut, teritori Kanada. Situs ini merupakan tempat ditemukannya 451 tulang dari sedikitnya 13 pelaut Franklin.
Sisa-sisa jenazah tersebut kemudian dicocokkan secara genetik dengan sampel DNA dari keturunan sang kapten yang masih hidup.
"Kami bekerja dengan sampel berkualitas baik yang memungkinkan kami membuat profil kromosom Y, dan kami cukup beruntung untuk mendapatkan kecocokan," kata Stephen Fratpietro, seorang Manajer Teknis di laboratorium Paleo-DNA Lakehead University, dalam sebuah pernyataan yang dilansir IFLScience.
Fitzjames adalah orang kedua dari 105 kru yang berhasil diidentifikasi secara positif, bergabung dengan seorang insinyur bernama John Gregory yang diidentifikasi oleh tim pada 2021 menggunakan metode serupa.
Sebuah biografi Fitzjames yang terbit pada 2010 menunjukkan bahwa ia adalah anak tidak sah dari Sir James Gambier (1772–1844) dan seorang wanita yang identitas aslinya tidak diketahui tetapi tercantum dalam dokumen gereja sebagai "Ann Fitzjames".
Melalui silsilah keluarga Gambier, keluarga diplomat dan perwira angkatan laut yang kaya raya, keturunan Fitzjames yang masih hidup ditemukan. Studi tersebut menjelaskan: "donor DNA tersebut adalah sepupu kedua Fitzjames yang telah meninggal lima kali dan terhubung dengannya melalui dua putra James Gambier."
Jenazah Fitzjames, serta beberapa pelaut lain yang tewas bersamanya, kini dimakamkan di sebuah tumpukan batu peringatan di lokasi tersebut dengan plakat peringatan.
Baca Juga: Ekspedisi BRIN Selidiki Budaya Melaut Suku Bajo di Nusa Tenggara Barat
Ekspedisi Franklin yang Hilang adalah pelayaran Inggris yang bernasib buruk yang berupaya melintasi bagian terakhir yang belum dijelajahi di Northwest Passage, rute laut yang dipenuhi es antara Samudra Atlantik dan Pasifik yang menjanjikan akan membuka perdagangan global.
Di bawah komando Sir John Franklin, dua kapal, HMS Erebus dan HMS Terror, meninggalkan Inggris pada 1845 tetapi terjebak es di sekitar Kutub Utara Kanada pada 1848. Semua anggota ekspedisi akhirnya tewas karena cuaca dingin yang ekstrem, kelaparan, dan penyakit kudis, yang diperburuk oleh keracunan timbal dari solder yang digunakan untuk menyegel kaleng makanan mereka.
Sebagian besar cerita diselimuti misteri, tetapi telah disatukan melalui laporan penduduk Inuit setempat, surat-surat yang ditulis sebelum hilangnya awak kapal, dan pemeriksaan forensik terhadap jenazah awak kapal. Bangkai kapal kedua kapal ditemukan pada 2014 dan 2016, menambah informasi baru pada cerita tersebut.
Ketika kru penyelamat menghubungi penduduk Inuit pada tahun 1850-an, mereka mengatakan telah melihat bukti bahwa para penyintas telah melakukan kanibalisme. Studi terbaru tentang Fitzjames dengan muram menegaskan cerita mereka. Pemindaian tiga dimensi pada rahangnya mengungkapkan bukti jelas adanya bekas luka, yang menunjukkan jenazahnya telah dibantai dan dimakan oleh awak kapalnya yang putus asa.
"Ini menunjukkan tingkat keputusasaan yang pasti dirasakan para pelaut Franklin hingga melakukan sesuatu yang mereka anggap menjijikkan," jelas Robert Park, seorang profesor antropologi di University of Waterloo.
"Ini menunjukkan bahwa ia telah meninggal lebih dulu dari beberapa pelaut lainnya yang tewas, dan bahwa pangkat maupun status bukanlah prinsip yang mengatur di hari-hari terakhir ekspedisi yang putus asa itu saat mereka berusaha menyelamatkan diri," imbuh Douglas Stenton, adjunct professor antropologi di universitas tersebut.
Makalah studi mereka ini telah dipublikasikan di Journal of Archaeological Science: Reports pada 24 September 2024.