Puyi, Kaisar Terakhir Tiongkok dan Manchukuo yang Tak Punya Kekuasaan

By Sysilia Tanhati, Sabtu, 26 Oktober 2024 | 18:05 WIB
Pernah menjadi kaisar terakhir Tiongkok, Puyi diangkat menjadi Kaisar Manchukuo. Ia menduduki takhta demi memenuhi kepentingan berbagai pihak. (Wikimedia Commons)

Untuk mendukung klaimnya bahwa pembentukan Manchukuo diilhami secara lokal, Jepang pun menunjuk Puyi, kaisar terakhir dari Dinasti Qing. Ia ditunjuk untuk duduk sebagai pemimpin boneka bagi negara baru tersebut.

Taktik tersebut rupanya tidak banyak berdampak pada League’s Lytton Commission. Komisi itu menemukan bahwa Manchukuo bukanlah produk dari gerakan independen pribumi atau spontan yang berusaha untuk bebas dari Tiongkok. Sebaliknya, negara baru itu justru lebih bergantung pada dukungan militer Jepang.

Pemungutan suara yang mengutuk agresi Jepang dan menuntut penarikan Jepang dari Tiongkok timur laut pun diselenggarakan. Namun sebelum itu, Jepang menarik diri dari liga.

Dengan peluang persetujuan internasional yang tampaknya hilang, Jepang condong ke taktik barunya. Untuk menekankan bahwa Manchukuo bukanlah negara boneka, Manchukuo akan dijadikan “kekaisaran terbaru di dunia”.

Dan siapa yang lebih baik untuk memainkan peran kaisar daripada Puyi? Saat itu Puyi dilantik sebagai kepala negara. Dan berdasarkan garis keturunannya, keberadaan Puyi bisa mendukung klaim bahwa negara baru tersebut mewakili keinginan lokal.

Puyi merupakan calon yang tepat karena telah memiliki pengalaman menjadi kaisar, tidak hanya sekali tapi dua kali! Setelah digulingkan pada tahun 1912, Puyi sempat dikembalikan ke takhta selama 2 minggu pada tahun 1917. Pengangkatannya itu dilakukan oleh seorang panglima perang yang loyal.

Puyi diangkat menjadi Kaisar Manchukuo

Jadi, pada suatu pagi musim dingin yang dingin, Puyi melakukan transisi dari kepala eksekutif menjadi kaisar. Ia mengenakan jubah upacara sutra yang bercorak Dinasti Qing.

Seperti banyak hal lain yang terjadi di Manchukuo, upacara tersebut merupakan upaya untuk merangkul kontradiksi. “Puyi akan menjadi pemimpin kekaisaran baru di wilayah kuno Manchu,” menurut kalimat pembuka laporan Associated Press. Ibu kota barunya di Changchun berganti nama menjadi Xinjing: secara harfiah artinya “ibu kota baru.”

Bukan pertama kalinya, kaisar terakhir menjadi agenda bagi pihak yang berseteru. Ia diangkat menjadi kaisar demi kepentingan pihak lain, alih-alih untuk kepentingannya. Puyi dieksploitasi demi garis keturunannya dengan sedikit kekuasaan yang dapat ia bawa. (Public Domain)

“Peristiwa itu merupakan pemandangan yang tak terlupakan,” lanjut laporan itu. “Di atas dataran Manchuria yang tandus, yang pernah ditaklukkan oleh Genghis Khan, Kubilai Khan, dan para pendahulu Pu Yi, tubuh rapuhnya berdiri di atas tabernakel tanah primitif. Ia tampak seperti bayangan di langit, tampak seperti sosok hantu di padang pasir.”

Setelah menyelesaikan ritual yang mewakili tradisi yang sudah ada sejak berabad-abad lalu, Puyi memasuki limusin antipeluru. Ia melakukan perjalanan sejauh 8 km melalui pinggiran kota.