Nationalgeographic.grid.id—Di kehidupan modern saat ini, sudah banyak kosakata yang mungkin hilang atau paling tidak sudah jarang terdengar lagi. Terutama kosakata di kampung atau desa adat yang jauh dari kota.
Fenomena hilangnya kosakata itu diungkap oleh Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Herry Jogaswara, saat membuka webinar bertajuk “Masyarakat Rural dalam Bingkai Bahasa dan Budaya”, pada 8 Oktober 2024. Herry menyebut webinar ini merupakan salah satu upaya untuk melihat perubahan sosial budaya dalam konteks kebahasaan.
Kepala Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas (PR BSK) BRIN, Ade Mulyanah, menjelaskan masyarakat rural atau kampung adat yang dimaksud adalah masyarakat yang anggotanya hidup bersama di suatu lokalitas tertentu atau seorang yang merasa dirinya bagian dari kelompok tersebut. Ciri khas dari masyarakat rural yakni kehidupannya yang sederhana.
Ia menambahkan, masyarakat perkampungan atau pedesaan juga memiliki sifat gotong royong. Sifat gotong royong tersebut berkaitan dengan kearifan lokal, dan ia berharap potensi kearifan lokal ini bisa digali dalam sebuah riset untuk melihat karakter bangsa.
“Potensi tersebut bisa berkaitan dengan pekerjaan yang bersifat homogen, kepadatan penduduk, lingkungan, diferensiasi sosial budaya, dan bagaimana kita melihat unsur stratifikasi sosial dari bahasa dan sastra,” urainya.
Pada kesempatan tersebut, Miftah Nugroho, peneliti daro Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret, memaparkan hasil risetnya tentang relativitas bahasa terkait leksikon budaya. Ia berpendapat, pengguna bahasa memakai bahasa untuk berinteraksi antarsesama. Namun interaksi tersebut secara tidak sadar terkendala budaya yang mereka pangku sehingga perilaku bahasa mereka merupakan cerminan dari budaya mereka.
Menurutnya, relativitas bukanlah ide baru di bidang linguistik. Ide ini pernah terabaikan beberapa dasawarsa di pertengahan abad ke-20.
“Saat itu, isu relativitas bahasa bangkit sebagai perlawanan terhadap universalitas bahasa yang diformalkan secara berlebihan oleh gramatika generatif dengan pandangan sentral yang tidak pernah bergeser ke ranah sintaksis,” paparnya.
Miftah menambahkan, leksikon budaya merupakan verbalisasi dari konsep budaya masyarakat tertentu melalui masyarakat tersebut. Ia memberi contoh filosofis dari sebuah gentong air yang merupakan peralatan rumah tangga sebagai simbol kesejahteraan kehidupan rumah tangga. Semakin berisi gentong tersebut, semakin sejahtera kehidupan rumah tangga.
Selanjutnya, Peneliti PR BSK BRIN, Dwi Atmawati, menjelaskan risetnya terkait beberapa leksikon peralatan dapur tradisional dan modern di wilayah Magelang. Ia juga merinci mata pencaharian masyarakat Kabupaten Magelang, yaitu bertani, berdagang, menjadi pegawai pemerintah, wiraswasta, karyawan swasta, juga menjadi perajin.
Meski demikian, Dwi melihat bahwa kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sini relatif tinggi. “Meskipun penghasilannya mungkin tidak tinggi, tetapi orang tua itu punya kesadaran bahwa pendidikan itu penting, pergaulan mereka juga menjadi semakin luas,” jelasnya. Hal ini menurutnya ikut mempengaruhi gaya hidup mereka yang kemudian juga berpengaruh pada perubahan peralatan dapur yang mereka gunakan.
Baca Juga: Selisik Peradaban Kuno yang Pertama Kali Menciptakan Bahasa Tulis