Nationalgeographic.grid.id—Pengetahuan lokal tentang astronomi atau keantariksaan dapat ditelusuri dalam tiga bentuk, yaitu manuskrip, tradisi lisan, dan pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat adat berkaitan dengan tradisi pertanian. Hal tersebut dibahas dalam Talkshow DOFIDA (Dialog, Obrolan Fakta Ilmiah Populer dalam Sains Antariksa) edisi September 2024 dengan topik "Astronomi dalam Manuskrip Sunda melalui YouTube BRIN Indonesia".
Salah satu bentuk pengetahuan lokal di Nusantara yang berisi tentang astronomi adalah manuskrip Sunda. Peneliti Pusat Riset Manuskrip, Literatur dan Tradisi Lisan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Agus Heryana, menjelaskan manuskrip Sunda mewartakan keberadaan benda-benda langit (astronomi) dalam bentuk aplikatif dan ajaran spiritual. Secara umum, dalam Manuskrip Sunda, keberadaan matahari, bulan, bintang, awan, langit sering kali menjadi penunjuk arah, baik tempat maupun waktu.
“Berita keberadaan pengetahuan lokal mengenai benda-benda langit atau keantariksaan diperoleh dalam naskah Siksa Kandang Karesian. Naskah yang ditulis tahun 1518 M ini mewartakan macam-macam profesi/keahlian. Salah satunya adalah tentang ahli perhitungan waktu yang disebut ‘bujangga’,” jelas Agus.
Dia menambahkan, bulan dan matahari menjadi petunjuk dalam menentukan waktu dipadukan dengan dewa kala yang membawa kenaasan atau keburukan yang bersifat gaib. Perhitungan-perhitungan yang secara teknis cukup rumit ini menghasilkan dua pilihan keberuntungan atau mapag kala (kerusakan).
“Bila perhitungan bertepatan dengan keberadaan kala (mapag kala) jalan keluarnya adalah membatalkan atau meneruskan dengan syarat. Persyaratan yang dimaksud adalah untuk menetralkan atau menangkal energi negatif. Biasanya melalui sedekah dengan makanan atau laku tertentu,” beber Agus seperti dilansir laman BRIN.
Keberadaan benda-benda langit dalam manuskrip pra-Islam juga digunakan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan hal-hal yang bersifat spiritual. Manuskrip ini biasanya diawali dengan pengetahuan tentang proses penciptaan alam. Sebagai contoh, naskah manuskrip Sunda menginformasikan adanya unsur penciptaan yang disebut pancabyapara.
Keberadaan benda-benda langit (astronomi) digunakan untuk mengekspresikan perjalanan ruh dalam mencapai kebahagiaan tertinggi dengan Tuhannya. Hubungan manusia dengan Tuhan dijalin melalui ciptaanNya, yakni alam semesta.
Masyarakat Sunda juga mencatat nama-nama benda langit, yaitu 1. panonpoe, srangenge, matapoe, surya, matahari; 2. bulan; 3. bentang, bintang; 4. langit; 5. katumbiri, pelangi; 6. mega, awan; 7. akasa, awang-awang, angkasa; 8. awun-awun, awan paling atas; 9. alak paul, langit tertinggi; 10. teja, tejamentrang, sinar; 11. kilat; 12. guludug; 13. gelap, guntur, petir, geledek; dan 14. kingkilaban.
Keempat belas benda langit tersebut secara jelas terlihat dengan mata telanjang. Namun karena posisinya berada di atas, maka untuk melihatnya diperlukan gerakan kepala ke atas dengan cara mendongakkan kepala.
“Posisi benda-benda langit yang berada di atas dalam manuskrip digunakan untuk menempatkan makhluk-makhluk yang dianggap suci. Langit merupakan representasi ketinggian dan kesucian yang tak terjangkau,” tutur Agus.
Baca Juga: Rumitnya Mengurai Manuskrip Astronom dan Matematikawan Yunani Kuno Ptolemeus
Hal menarik dari astronomi lokal adalah pemanfaatan benda-benda langit untuk memberikan metafora atau majas dalam penggambaran alam gaib dan perilaku manusia. Hal tersebut dapat disimak pada teks naskah Bujangga Manik dan Sewaka Darma.
Agus memaparkan, keberadaan manuskrip Sunda yang tersebar baik di instansi pemerintah, swasta, maupun di masyarakat merupakan khazanah pengetahuan yang tak ternilai. Keberadaan manuskrip Sunda ini merupakan warisan pengetahuan yang perlu dikaji bersama. Masih banyak peluang untuk terus melakukan studi-studi manuskrip Sunda sesuai dengan kepentingannya.
“Sumbangan terpenting dunia astronomi dalam kehidupan manusia secara umum adalah adanya sistem penanggalan atau kalender. Sampai sekarang di lingkungan masyarakat dikenal empat macam tahun, yaitu tahun Saka, Tahun Hijrah (Arab), Tahun Jawa, dan tahun Masehi,” terangnya.
“Perhitungan tahun Saka dan Masehi didasarkan pada peredaran bumi mengelilingi matahari yang biasa disebut tahun surya (Syamsiah)," papar Agus. "Sedangkan tahun Hijriah dan tahun Jawa berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi yang biasa disebut tahun rembulan (Qomariah).”