Nationalgeographic.co.id—Aktivitas Matahari, mulai dari semburan Matahari hingga lontaran massa korona yang dapat memengaruhi teknologi di Bumi, menjadi fokus kajian dan riset di Pusat Riset Antariksa, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Cuaca antariksa akibat aktivitas Matahari bisa berdampak pada gangguan satelit, komunikasi radio, jaringan listrik, jaringan pipa minyak, hingga gangguan GPS di Bumi.
Peneliti Ahli Madya PR Antariksa BRIN, Tiar Dani, menyingkap rahasia Matahari melalui dinamika aktivitasnya untuk memprediksi dampaknya terhadap Bumi dengan memanfaatkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Pada acara pemaparan daring bertajuk “100 Jam Astronomi untuk Semua” pada Oktober lalu, Dani menyampaikan bahwa sangat penting untuk memitigasi dampak-dampak tersebut dengan memperkirakan apa yang terjadi di Matahari. “Karena jika kita tidak bisa memprediksi, maka akan ada kerugian ekonomi di dalamnya,” terang Dani, seperti dilansir laman BRIN.
Dani menjelaskan bahwa pembelajaran mesin (machine learning) dan pembelajaran dalam (deep learning) dalam AI bisa mendeteksi pola dan memprediksi aktivitas Matahari dengan tingkat akurasi dan kecepatan yang belum pernah ada sebelumnya sehingga dapat meningkatkan pemahaman tentang dinamika Matahari dan mitigasinya sebelum ke Bumi.
Alur kerja AI ini dimulai dari data berkualitas yang kemudian akan dilatih dan dibuatkan algoritmanya. Setelah itu data disiapkan agar AI dapat membacanya.
“Dataset yang sudah siap dibaca ini akan dimasukkan ke algoritma dan dilakukan training dan akan memprediksi data yang baru. Untuk itu perlu dibandingkan dengan data testing pertama. Setelah itu, dihitung akurasinya, jika tidak bagus, maka harus dirubah algoritmanya sehingga dapat menghasilkan akurasi yang baik,” terang Dani.
Dataset Matahari biasanya didapat dari satelit-satelit yang mengamati Matahari yang jumlahnya sangat banyak. Untuk itu, diperlukan penguasaan AI dan latar pendidikan fisika agar dapat menggunakan tools AI untuk mengolah data yang akan di-training agar mendapatkan hasil yang sesuai.
“Untuk model prediksi solar flare, dibutuhkan data dari sunspot yang di dalamnya ada lokasi, luas area, jumlah bintik dan magnetik seperti apa,” jelas Dani.
"Pemanfaatan AI dilakukaan menggunakan parameter atau fitur-fitur dari data sunspot 3 hari kebelakang untuk memprediksi kelas flare dengan menggunakan metode random forest yang merupakan machine learning klasik," bebernya lagi.
"Dataset dimasukkan ke beberapa pohon atau decision tree yang akan menghasilkan beberapa prediksi. Dengan model prediksi solar flare ini kita bisa mendapatkan akurasi 70%. AI sendiri berperan sebagai pijakan awal atau dukungan keputusan."
Baca Juga: Peristiwa Carrington, Selidik Badai Matahari Dahsyat Tahun 1859
Selanjutnya AI juga dapat digunakan untuk model prediksi kecepatan angin Matahari. Angin Matahari dimodelkan memutar, dan menggunakan model long short term memory atau deep learning.
Pemanfaatan AI dilakukan dengan menggunakan data angin Matahari dan data lubang korona saat aktivitas Matahari minimum atau CME (Coronal Mass Ejection) saat aktivitas Matahari maksimum untuk memprediksi seperti apa kecepatan angin Matahari.
Dani menambahkan, AI juga digunakan untuk model prediksi CME Transit Time untuk memprediksi kapan CME tiba di Bumi, prediksi falset atau memprediksi kemunculan sunspot, serta untuk model prediksi magnetik sisi jauh Matahari.
Lebih lanjut, Dani menjelaskan bahwa Pusat Riset Antariksa BRIN sendiri memiliki ML OPS dan SWIFtS yang menggunakan seluruh model prediksi cuaca antariksa di atas.
"Space Weather Information and Forecast Services (SWIFtS) menggunakan model-model untuk mendukung layanan kepada masyarakat," jelas Dani, "di antaranya untuk model prediksi siklus Matahari, solar flare, lubang korona dan angin Matahari, CME, geogenetik, solar summary, dan ionosfer."