Nationalgeographic.co.id—Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan kondisi kekeringan yang cukup parah di sejumlah wilayah Indonesia. Hingga saat ini, baru 28% wilayah Indonesia yang memasuki musim hujan. Sisanya masih mengalami musim kemarau panjang.
Yang lebih mengkhawatirkan, ada 19 daerah yang tersebar di 6 provinsi yang sama sekali tidak merasakan hujan lebih dari 2 bulan. Kondisi ini tentu sangat berdampak pada ketersediaan air bersih dan berpotensi memicu berbagai masalah, seperti kekeringan lahan, kesulitan mendapatkan air bersih, hingga potensi kebakaran hutan.
Menanggapi kondisi ini, BMKG mengimbau masyarakat untuk tetap waspada dan bijak dalam menggunakan air. Bagi daerah yang sudah memasuki musim hujan, BMKG menyarankan untuk melakukan upaya-upaya untuk menampung dan mengalirkan air hujan dengan baik.
Kekeringan yang melanda beberapa wilayah di Indonesia tersebut membawa dampak yang sangat signifikan bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Menurut Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang, salah satu dampak paling nyata adalah berkurangnya sumber air bersih.
Ketika cadangan air menyusut, masyarakat akan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti minum, memasak, dan mandi. Kekurangan air bersih dapat menyebabkan dehidrasi, penyakit, dan mengancam kesehatan masyarakat.
Selain itu, kekeringan juga berdampak pada sektor pertanian. Tanaman yang tidak mendapatkan cukup air akan layu dan mati. Hal ini menyebabkan penurunan produksi pangan, mengancam ketahanan pangan, dan berpotensi meningkatkan harga pangan. Hilangnya vegetasi akibat kekeringan juga dapat memperburuk kualitas udara dan mengganggu keseimbangan ekosistem.
Kekeringan juga dapat memicu berbagai bencana lain seperti kebakaran hutan dan lahan. Ketika tanah dan vegetasi kering, risiko kebakaran sangat tinggi, terutama jika ada sumber api. Kebakaran hutan tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menghasilkan emisi karbon yang memperparah perubahan iklim.
Deteksi dini kekeringan
Dampak-dampak buruk dari kekeringan tersebut sebenarnya bisa mendapatkan upaya mitigasi apabila kita mampu melakukan deteksi dini waktu serta wilayah mana saja yang akan mengalami kekeringan.
Misalnya saja pada tipe kekeringan meteorologis, yakni kekeringan yang terjadi ketika suhu udara tinggi namun curah hujan rendah sehingga menyebabkan kekeringan di suatu wilayah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Muhammad Indra Bendi, di dalam Jurnal Ilmu Komputer dan Sistem Informasi, kekeringan meteorologi dapat dicegah dengan melakukan tiga metode deteksi dini, sebagai berikut:
Baca Juga: Lewat AI, Peneliti Sanggup Prediksi Kekeringan yang Bakal Terjadi di Masa Depan
1) Monitoring hari tanpa hujan
Monitoring hari tanpa hujan (HTH) adalah salah satu alat ukur mendeteksi terjadinya kekeringan meteorologis. Data HTH biasanya ditemui di stasiun BMKG daerah. Apabila pada tanggal terakhir pengamatan (tanggal 10, 20, dan akhir setiap bulannya) tidak ada hujan, maka dihitung mengikuti kriteria HTH.
Ada 7 kriteria yang digunakan dalam penyusunan peta monitoring HTH:
- 1-5 hari tanpa hujan dikategorikan sangat pendek
- 6-10 hari tanpa hujan dikategorikan pendek
- 11-20 hari tanpa hujan dikategorikan menengah
- 21-30 hari tanpa hujan dikategorikan panjang
- 31-60 hari tanpa hujan dikategorikan sangat panjang
- >61 hari tanpa hujan dikategorikan ekstrem
- Hari hujan dikategorikan masih ada hujan.
2) Probabilitas peluang curah hujan dengan model ECMWF
European Centre Medium Weather Forecast (ECMWF) atau pusat prakiraan cuaca jangka menengah eropa adalah lembaga penelitian dan layanan yang menyediakan prediksi cuaca.
Data dari ECMWF dapat digunakan sebagai metode deteksi dini kekeringan karena menghimpun data prediksi cuaca secara global dua kali sehari sekaligus memiliki arsip data prediksi cuaca numerik terbesar di dunia.
Parameter yang digunakan ECMWF ialah kecepatan dan hembusan angin, arah angin, suhu udara, awan dan presipitasi sehingga bisa memungkinkan menghitung peluang curah hujan.
3) Pemanfaatan data JAXA Global Rainfall Watch (GSMap)
GSMaP adalah data probability curah hujan dengan menggunakan data satelit yang dikembangkan oleh Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA). GSMaP menyediakan data curah hujan secara global dari radiometer pada gelombang mikro dan infrared dan tersedia dari tahun 2000 hingga sekarang.
Salah satu fitur yang dimilikinya adalah GSMaP consecutive dry days, yaitu data GSMaP yang berisi jumlah hari tanpa hujan secara berturut-turut.
Melalui salah satu atau ketiga cara tersebut, baik pemerintah maupun masyarakat mampu melakukan mitigasi, baik dalam bentuk mencegah kekeringan ataupun meminimalisir dampak buruk kekeringan.