Dari Dayak Kalimantan, Penjaga Bumi yang Terabaikan ini Menantang Dunia

By Utomo Priyambodo, Kamis, 14 November 2024 | 14:50 WIB
Warga Sungai Utik, Kalimantan Barat, sedang melakuan pemantauan populasi rangkong di hutan adatnya. (RIKI RAHMANSYAH/Rekam Nusantara Foundation)

Nationalgeographic.co.id—Masyarakat adat adalah penjaga kelestarian bumi yang kerap terabaikan. Padahal, perlindungan keanekaragaman hayati tidak bisa lepas dari peran serta masyarakat adat dan lokal yang sejak lama sudah menjadi bagian dari ekosistem di wilayah adatnya.

Praktik-praktik pemantauan keanekaragaman hayati (biodiversity monitoring) sejatinya sudah dilakukan oleh masyarakat adat. Penjagaan dan pelestarian lingkungan juga sudah mereka terapkan lewat hukum adat mereka.

Dalam Konferensi Para Pihak Ke-16 (COP 16) tentang Keanekaragaman Hayati (CBD) yang diselenggarakan di Cali, Kolombia, perwakilan masyarakat adat dari Kalimantan turut hadir. Konfrensi itu berlangsung pada tanggal 21 Oktober 2024 hingga 1 November 2024 lalu.

Perwakilan masyarakat adat Kalimantan itu bercerita ke masyarakat global tentang praktik-praktik monitoring keanekaragaman hayati yang dilakukan di wilayah adat mereka.

Sebagai pulau terbesar ketiga di dunia, Kalimantan punya sedikitnya 15,000 jenis tanaman, 288 jenis mamalia, 350 jenis burung, 150 jenis reptil dan amfibi. Hal ini menjadikan Kalimantan sebagai daerah penting bertemunya beragam kebudayaan dengan tingginya keanekaragaman hayati.

Dari keseluruhan biodiveristas tersebut, berbagai kelompok masyarakat adat secara turun-temurun telah melakukan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati yang ada di wilayahnya. Praktik ini disampaikan oleh perwakilan masyarakat adat Ketemenggungan Iban Jalai Lintang, Kalaimantan Barat, dalam salah satu side event di COP16 CBD.

“Seluruh masyarakat adat di Indonesia harus terus menjaga dan mengelola hutan beserta isinya, karena lebih baik menjaga mata air, daripada meneteskan air mata,” tutur Raymundus Remang, Kepala Desa Batu Lintang/Ketua Gerempong Menuajudan - Sungai Utik, seperti dikutip dari keterangan tertulis yang National Geographic Indonesia dapatkan.

Warga Sungai Utik, Kalimantan Barat, teguh menjaga kelestarian alam dan keanekaragaman hayati di lingkungan mereka. (Rekam Nusantara Foundation_Iban Manua Sungai Utik)

Darius Doni, pemuda dari generasi ketiga Ketemenggungan Iban Jalai Lintang/Pengurus Daerah AMAN Kapuas Hulu, mengatakan bahwa “Generasi muda adat harus lebih aktif menjaga dan mengelola wilayah adat sebagai penerimaan leluhur, untuk masa depan yang terus baik”

Kapuas Hulu sendiri merupakan salah satu bentang alam di jantung pulau Kalimantan dengan keanekaragaman hayati yang tak tertandingi. Hamparan hijau hutan hujan tropis yang berada di Kapuas Hulu merupakan benteng terakhir bagi banyak spesies flora dan fauna, termasuk rangkong gading yang terancam punah serta 7 jenis rangkong Kalimantan, orang utan, dan jutaan makhluk lainnya yang menyebut hutan ini sebagai rumah.

Praktik masyarakat adat dalam konservasi keanekaragaman hayati berakar kuat pada hubungan kosmos dalam penjagaan terhadap ekosistem alam. Praktik baik oleh masyarakat adat dalam pengelolaan ekosistem berkelanjutan yang dilakukan turun temurun, karena segala kebutuhan yang diperlukan untuk menunjang kehidupan masyarakat adat terpenuhi oleh alam.

Baca Juga: Mitologi Dayak Kalimantan: Orangutan Sebagai Spesies Istimewa Bagi Masyarakat Adat

Masyarakat Adat Dayak Punan Tugung

Selain masyarakat adat Ketemenggungan Iban Jalai Lintang, juga ada masyarakat adat Dayak Punan Tugung di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Meskipun wilayah adat mereka sepenuhnya berada dalam izin konsesi perusahaan dan masuk dalam kawasan hutan, masyarakat adat Dayak Punan Tugung tetap menjaga keanekaragaman hayati yang berada di wilayah adat mereka.

Rahmat Sulaiman dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) menyampaikan, “Kondisi wilayah adat Dayak Punan Tugung cukup memprihatinkan, karena keseluruhan dari wilayah adat berada dalam konsesi. Baik dalam fungsi produksi maupun lindung, keseluruhan masuk dalam konsesi."

"Namun, perbedaan pengelolaan hutan oleh korporasi dan masyarakat adat terlihat sangat mencolok dan menunjukkan bagaimana masyarakat adat Dayak Punan Tugung mampu melindungi keperawanan hutan adat mereka.”

Nurhayati, perempuan adat Punan Tugung bercerita tentang pengetahuan tradisional berbasis kearifan lokal di wilayah adat mereka di ajang COP 16 CBD. Ia mengungkapkan bahwa obat-obatan tradisional atau Ethnobotani telah dimanfaatkan secara turun temurun.

Dalam pemaparannya, Nurhayati menunjukkan berbagai tanaman herbal yang dapat digunakan sebagai obat-obatan, mulai dari panas dalam, penawar racun, dan lain sebagainya kepada para peserta dalam Paviliun ASEAN. “Hutan adalah supermarket dan apotek gratis bagi kami. Dari hutan, kami bisa mendapatkan segala kebutuhan yang kami perlukan. Kami tid

Delegasi CSO Indonesia dan perwakilan masyarakat adat Dayak Punan Tugung dalam salah satu acara side event COP 16 CBD. (Dok. Istimewa)
ak bisa dipisahkan dengan hutan adat kami,” ujar Nurhayati.

Nurhayati sedang menjelaskan tanaman-tanaman obat berdasarkan pengetahuan tradisional yang biasa digunakan oleh masyarakat adat di COP 16 CBD. (Dok. Istimewa)

Di sisi lain, sebagai aktor utama penjaga keanekaragaman hayati, pengakuan terhadap masyarakat adat masih minim. Data PADI Indonesia dan JKPP menunjukkan bahwa pengakuan masyarakat adat di Kalimantan Utara baru ada di 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Bulungan.

“Untuk jumlah komunitas adat yang telah mendapatkan pengakuan hingga saat ini baru ada 19 Komunitas yang tersebar di 3 kabupaten tersebut,” ucap Among selaku Direktur Eksekutif PADI Indonesia yang merupakan pendamping dari komunitas adat Punan Tugung.

“Masyarakat adat bukanlah yang menyebabkan kehilangan keanekaragaman hayati dan perubahan iklim, tetapi mereka adalah garda terdepan pelindung biodiversitas dan sebagai pihak yang akan terdampak langsung terhadap kehilangan biodiversitasnya. Oleh karenanya, pengakuan formal bagi masyarakat adat dan dukungan dari masyarakat dunia tentang perlindungan dan kontribusi masyarakat adat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati sangat kami butuhkan,” tegas Among.

Masyarakat adat di Kalimantan pada kenyataannya bukan merupakan satu-satunya yang sedang berusaha mendapatkan pengakuan atas status dan ruang hidupnya.

Tidak hanya di Indonesia, proses negosiasi dalam COP16 CBD untuk penghoramatan dan pengakuan hak masyarakat adat dan komunitas lokal yang telah terbukti berkontribusi pada perlindungan keanekaragaman hayati dan secara tidak langsung juga berkontribusi dalam pencapaian target 3 KM-GBF, yang berjalan dengan cukup alot.

Padahal, penghormatan terhadap hak dan pengakuan terhadap ruang hidup masyarakat adat dan komunitas lokal merupakan prasyarat utama bagi masyarakat adat untuk bisa melangsungkan praktik pengelolaan ekosistem berkelanjutan yang telah terbukti berhasil melindungi keanekaragaman hayati.

Yoki Hadiprakarsa dari Yayasan Rekam Nusantara menuturkan “Perjuangan masyarakat adat dalam menjaga dan mengelola hutan adat secara berkelanjutan sudah sejak lama dilakukan. Karenanya, perlu terus dukungan teknis dan pendanaan oleh para pihak untuk memastikan upaya pengelolaan melalui pemantauan keanekaragaman hayati terus berjalan, sebagai bentuk nyata kontribusi masyarakat adat dalam implementasi KM-GBF di Indonesia. Terpenting, untuk terus memberikan manfaat luar biasa, untuk Indonesia dan masyarakat global."