Nationalgeographic.co.id—Bagaimana orang Afrika bisa menjadi budak baru diselidiki pada abad kesembilan belas. Ahli bahasa Jerman Kölle diberi izin oleh otoritas Inggris untuk melakukan penelitian. Risetnya ditujukan terhadap budak yang ditemukan di kapal budak ilegal. Budak itu dibawa ke Sierra Leone oleh angkatan laut Inggris.
"Penelitiannya menunjukkan bahwa sekitar 35 persen budak sebelumnya pernah menjadi tawanan perang, 30 persen pernah diculik, sekitar 5 hingga 10 persen dijual sebagai budak oleh keluarga, dan lebih dari 10 persen pernah dijatuhi hukuman perbudakan oleh pengadilan," tulis Piet Emmer.
Emmer menulis kepada Historiek dalam artikelnya berjudul Waar haalden Nederlanders hun slaven vandaan? yang diterbitkan pada 1 Juli 2024.
Emmer melanjutkan, "di antara orang-orang Guinea yang memilih menjadi penjahat, maka kejahatan utama mereka akan disanksi dengan denda; tapi karena penjahat itu tidak memiliki uang untuk membayar denda, para penjahat dijual ke kapal sebagai budak."
Kebanyakan dari mereka yang dijual ke kapal dilahirkan sebagai budak, atau mereka yang ditangkap dalam perang, kemudian dijadikan budak juga.
Namun, muncul pertanyaan: mengapa orang Afrika membiarkan sebangsanya dijual sebagai budak? Apakah Afrika kelebihan penduduk?
Menjelang akhir abad kedelapan belas, pasokan budak dapat didorong oleh permintaan dan bahwa jumlah perang antar orang Afrika dengan bangsa Eropa telah meningkat. Perang yang menyengaja dilakukan Eropa demi mendapatkan lebih banyak budak.
Oleh karena itu, "orang-orang Eropa dengan senang hati akan mengobarkan perang tersebut dengan memasok senjata api dan bubuk mesiu dalam jumlah tak terbatas," imbuh Piet Emmer.
Gallandat, seorang dokter kapal dari Zeeland menyebutkan bahwa, "Banyak orang berpendapat bahwa di antara orang-orang negro, orang tua menjual anak-anaknya, laki-laki menjual istrinya, dan seorang saudara laki-laki menjual saudara laki-lakinya yang lain; tapi ini hanyalah fiksi dan cerita, yang tidak mengandung kebenaran."
Bangsa Eropa, menurut Gallandat, sebenarnya adalah penghasut perang yang menghancurkan dunia Afrika. Ia menegaskan bahwa perdagangan budak tidak akan pernah ada tanpa perkebunan di Dunia Baru, Amerika.
Jelas bahwa terdapat jutaan budak di Afrika dan tingkat perbudakan sangat bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Afrika Barat adalah wilayah dengan jumlah budak yang sangat besar, mungkin sepertiga hingga setengah penduduknya!
Baca Juga: Ironi Tewasnya Jutaan Budak Afrika dalam Perjalanan Menuju Dunia Baru
Secara sosial, kepemilikan budak di Afrika sendiri tersebar tidak merata. Orang Afrika yang miskin tidak akan mempunyai budak, tetapi raja, bangsawan, dan pedagang kaya Afrika kadang-kadang mempunyai budak dalam jumlah ribuan.
Kepemilikan atas budak menjadi nilai tersendiri. Semakin banyak budak, semakin penting pemiliknya. Seperti di Eropa, rumah tangga kerajaan dan bangsawan diukur tidak hanya dari ukuran dan kemegahan tempat tinggal mereka, tapi juga dari jumlah pelayannya.
Selain budak rumah tangga, Afrika juga memiliki banyak budak pertanian. Mereka menggarap tanah, tetapi mereka tidak dapat menyimpan sendiri hasil pertanian mereka dan masih harus membayar sebagian hasilnya kepada majikan mereka.
Selain itu, tidak ada lapangan kerja bagi budak di Afrika. Hampir tidak ada perusahaan di bidang pertanian, pertambangan atau industri yang mana penggunaan budak secara besar-besaran akan membuahkan hasil.
Di Afrika, para budak menghasilkan lebih atau kurang untuk penghidupan mereka sendiri, hanya pas-pasan, tidak lebih dari itu. Tidak heran jika orang-orang Afrika sendiri tidak bersedia membayar mahal untuk mendapatkan budak.
Situasi ini menjelaskan mengapa pemilik budak Afrika dengan cepat menjadi tertarik untuk menjual budak kepada pedagang budak Arab dan Eropa. Mereka menawarkan harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan pedagang Afrika.
Tentu saja, perdagangan budak internal Afrika terus ada. Sebagian besar wilayah Afrika terlalu jauh dari pantai untuk memasok budak untuk diekspor.
Semua ini menunjukkan bahwa Belanda dan negara-negara dagang Eropa lainnya tidak menciptakan perdagangan budak secara lokal di Afrika, melainkan meningkatkan jumlah perdagangan budak keluar Afrika.
Namun, sepuluh atau dua belas juta orang Afrika yang dibawa dengan kapal-kapal Eropa bahkan tidak mencakup setengah dari jumlah budak yang diperdagangkan di Afrika pada periode yang sama.
Para budak itu diangkut meninggalkan Afrika Timur melalui karavan dan jalur pelayaran Arab. Lantas, muncul pertanyaan: mengapa orang Afrika saling memperbudak dan menjual satu sama lain sebangsa mereka?
Jawaban atas pertanyaan ini sebagian sederhana: tidak ada 'orang Afrika', begitu pula 'orang Eropa' dalam hal perbudakan dan penjualannya. Orang-orang Afrika tidak saling menjual, tetapi satu negara menjual anggota negara lain dengan syarat tertentu.
Meski memiliki kesamaan ras, antar orang Afrika tidak menganggap mereka sebagai sebangsa, karena perbedaan geografis dan konstitusi. Pun, dalam hal ini, kepentingan politik dan ekonomi memungkinkan elit Afrika untuk saling menjual orang Afrika yang lain.
Siapa yang tak tergiur? Raja Tagbesu dari Kerajaan Dahomey, di kawasan Benin telah meraup sekitar 250.000 pound sterling setahun pada 1750, dengan menjual budak-budaknya yang diambil dari Afrika Barat.
Raja Tagbesu hanya salah satunya. Kebanyakan para elit atau raja dapat menjual budak-budaknya yang diambil dari sesama Afrika, menjalin kontak kerja sama dengan para kolonialis Eropa.
Sampai akhirnya perbudakan dihapuskan, hanya bentuk ketradisionalannya yang hilang. Hingga kini, perbudakan modern masih berlangsung di beberapa sektor, meski eksploitasi terhadap orang-orang Afrika mulai mereda.