Heroisme Achmad Mochtar, Dokter Berjasa yang Dipenggal Jepang

By Galih Pranata, Kamis, 21 November 2024 | 15:30 WIB
Achmad Mochtar mendedikasikan seluruh hidupnya untuk dunia kedokteran sebelum akhirnya mendapat tuduhan dan aksi heroismenya yang membuat ia dipenggal oleh Jepang pada 1945 saat menjabat sebagai pemimpin Eijkman Instituut. (Wikimedia Commons)

Achmad Mochtar (kiri) beserta keluarganya di kediamannya di Jalan Raden Saleh, Cikini, Jakarta Pusat (Taty Hanafiah D. Uzar via Kompas.com)

"Kevin Baird telah menemukan, ia adalah seorang pahlawan yang mengorbankan dirinya sendiri agar seluruh stafnya dapat hidup," tulis Robin McKie kepada The Guardian dalam artikelnya Achmad Mochtar died to save his wartime colleagues, academic discovers, terbitan 25 Juli 2010.

Kevin Baird—direktur Unit Penelitian Klinis Universitas Oxford di Jakarta—telah menghabiskan waktunya selama berbulan-bulan untuk menyelidiki pemenggalan kepala Mochtar oleh pasukan Jepang di tahun 1945.

Saat itu, Achmad Mochtar tengah memimpin Lembaga Penelitian Medis Eijkman di Jakarta. Ia dituduh oleh pemerintah Jepang di Indonesia telah meracuni ratusan pekerja paksa Indonesia yang bekerja untuk Jepang.

Faktanya, kematian tersebut merupakan hasil dari eksperimen medis yang dilakukan oleh otoritas militer Jepang yang gagal, demikian temuan Baird.

Para pekerja diberi vaksin tetanus uji coba, yang dibuat oleh dokter Jepang, sebelum diberikan kepada tentara dan penerbang Jepang. Namun, vaksin tersebut gagal dan diperkirakan 900 pekerja meninggal karenanya.

Untuk menutupinya, Jepang menyalahkan Mochtar dan staf Eijkman—yang terlibat dalam pekerjaan vaksin paralel—dan menangkap mereka pada bulan Oktober 1944. Secara keji, mereka dipukuli, dibakar, dan disetrum. Salah satu dari mereka meninggal.

Anehnya, Jepang tiba-tiba membebaskan para staf Eijkman setelah disiksa, dan hanya menyisakan seorang Mochtar, yang kemudian dipenggal. Tragisnya, jasadnya dihancurkan oleh mesin pemadat sebelum dikebumikan di kuburan umum.

Menurut Kevin Baird, ia menemukan bahwa Mochtar telah setuju untuk menanggung kesalahan para stafnya atas keracunan tersebut, kemudian rekan-rekannya dibebaskan oleh Jepang.

Baird juga menyanjung sosok Mochtar yang harus rela kehilangan segalanya, termasuk seorang istri dan anaknya di rumah. Ia mengorbankan nyawanya demi staf, kolega, dan teman-temannya.

Pandangan ini didukung oleh para ilmuwan Indonesia yang telah menyelidiki pembunuhan Mochtar bersama Baird. "Dia mati syahid, melindungi bawahannya," kata Sjamshidajat Ronokusumo, dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Butuh waktu 65 tahun untuk mengungkap kebenaran tentang kematian Mochtar. Baird mendengar cerita tentang eksekusinya dari seorang mahasiswa. Bersama ahli biologi, Sangkot Marzuki, Baird kemudian mulai mewawancarai keluarga korban yang selamat.

Baird menuturkan bahwa sebelumnya ia menganggap kepahlawanan semacam ini hanya milik orang-orang militer dan bukan milik kaum intelektual terpelajar. Namun, itu tidak benar, seperti yang dapat kita lihat dari kisah Achmad Mochtar.

Makam Achmad Mochtar baru ditemukan pada tahun 2010. Kini ia dimakamkan di Taman Makam Kehormatan Ancol (Jakarta). Rumah sakit besar di Bukittinggi (Sumatera) dinamai menurut namanya sebagai bentuk penghormatan pada heroisme seorang Mochtar.