Benarkah Kekaisaran Romawi Timur Runtuh Akibat Wabah dan Iklim?

By Sysilia Tanhati, Jumat, 22 November 2024 | 14:00 WIB
Peneliti mengungkapkan jika wabah dan iklim bukanlah penyebab utama kejatuhan Kekaisaran Romawi Timur.
Peneliti mengungkapkan jika wabah dan iklim bukanlah penyebab utama kejatuhan Kekaisaran Romawi Timur. (Josse Lieferinxe)

Nationalgeographic.co.id—Telah diterima secara luas bahwa iklim dan Wabah Justinian adalah penyebab utama kejatuhan Kekaisaran Romawi Timur atau Bizantium. Keduanya dipercaya menyebabkan penurunan populasi secara besar-besaran yang membuat Romawi Timur tak berdaya pada abad ke-6 M.

Namun, sebuah studi baru telah membantah klaim ini. Studi yang diterbitkan di jurnal Klio menunjukkan adanya lonjakan jumlah populasi sekitar paruh kedua abad ke-6 M. Jadi, wabah dan perubahan iklim memiliki dampak yang terbatas terhadap kejatuhan Kekaisaran Romawi Timur.

Studi bertajuk “Challenging the Significance of the LALIA and the Justinianic Plague: A Reanalysis of the Archaeological Record” ditulis oleh Haggai Olshanetsky dan Lev Cosijns.

Iklim dan wabah bukan penggerak utama perubahan

Kedua peneliti menganalisis bukti arkeologi yang tersedia, data dari permukiman, bangkai kapal, dan pola perdagangan di Mediterania.

Mereka berpendapat bahwa faktor manusia dan militer, termasuk invasi Persia dan ekspansi Islam abad ke-7, adalah penggerak utama perubahan. Pertanian, ekonomi dasar sebagian besar kekaisaran, dengan demikian tidak terlalu terpengaruh oleh iklim seperti yang secara keliru dipikirkan. Peneliti mengandalkan bukti tekstual dan bukti arkeologi di luar batas Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium).

Bahkan, para peneliti menyarankan bahwa pertanian dan aktivitas komersial sebenarnya dapat dipertahankan dan ditingkatkan di wilayah Mediterania timur.

Para peneliti menulis dalam makalah tersebut:

“Mengapa Kekaisaran Romawi Timur runtuh? Pertanyaan ini kerap membuat banyak orang terpesona, baik di kalangan akademisi maupun masyarakat umum. Dalam mencari jawaban, emosi memuncak dan imajinasi dapat menjadi liar. Intervensi manusia, sebagian besar dalam bentuk perang, umumnya dikaitkan dengan kemunduran kekaisaran. Hingga 40 tahun yang lalu, penelitian sejarah berorientasi pada alur pemikiran ini. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, muncul saran-saran baru yang mengaitkan kebangkitan dan kejatuhan kekaisaran dengan iklim dan penyakit.”

“Bagaimanapun, tampaknya dampak iklim (Zaman Es Kecil) terlalu dibesar-besarkan dan jelas tidak separah di kekaisaran Romawi Timur,” tulis Guillermo Carvajal di laman La Brujula Verde. Di daerah lintang yang lebih tinggi di Belahan Bumi Utara, suhu rata-rata tahunan turun hingga 1,6°C. Sedangkan dampak di selatan, seperti Mesir dan Yudea, hanya sekitar 0,25°C.

“Jadi, tampaknya tahun 536 M bukanlah tahun terburuk untuk hidup. Setidaknya, tidak bagi kebanyakan orang yang hidup pada masa itu. Tahun ini adalah periode yang mengerikan bagi orang-orang yang tinggal di Skandinavia. Namun bagi orang-orang yang tinggal di Kekaisaran Romawi Timur, dampaknya terbatas, sehingga kehidupan berjalan seperti biasa,” kata Cosjins.

Baca Juga: Bagaimana Romawi dan Yunani Kuno Hadapi Masalah Perusakan Lingkungan?

Bahkan Wabah Justinian, yang sering digambarkan sebagai salah satu pandemi paling mematikan dalam sejarah dunia, dibesar-besarkan secara tidak proporsional. Bukti arkeologis tidak mendukung keruntuhan populasi yang begitu cepat atau krisis ekonomi yang terjadi setelahnya yang tidak dapat diubah.

Bukti yang tak terbantahkan

Faktanya, ada wabah kecil yang disebutkan oleh sumber-sumber yang memiliki reputasi baik pada periode ini. Sumber-sumber lain menunjukkan bagaimana penelitian yang dilakukan terhadap genetika wabah. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa wabah itu tiba di Eropa jauh lebih awal dari yang diyakini sebelumnya. Wabah tersebut pun hidup berdampingan dengan populasi.

Mengenai perdagangan, mereka menganalisis bangkai kapal dari Mediterania di Marseille, Naples, Carthage, Spanyol timur, dan Aleksandria. Pada suatu saat di paruh kedua abad ke-7, kapal-kapal Romawi, yang berjejer di pantai dalam jumlah ratusan, mulai menghilang.

Barang-barang Romawi dari periode ini di Israel, Tunisia, Yordania, Siprus, Turki, Mesir, dan Yunani menunjukkan kemakmuran. Dan arus perdagangan yang masih sangat utuh. Bahkan, tampaknya ada peningkatan kemakmuran dan demografi. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan jumlah permukiman di Kekaisaran Romawi Timur, setelah tahun 550-an.

“Informasi tersebut membuat kami menyimpulkan bahwa Kekaisaran Romawi Timur mulai mengalami kemunduran setelah masalah muncul dalam perdagangan. Juga setelah kegagalan militer,” kata Cosijns.

Para peneliti juga mempertimbangkan 16.000 potong tembikar yang ditemukan di Nessana, barat daya Negev (Yudea). Perdagangan tembikar berkembang pesat selama akhir abad ke-6 dan awal abad ke-7. Peningkatan itu mencerminkan peningkatan kapasitas industri dan kemakmuran wilayah tersebut.

Analisis terakhir adalah salah satu studi kasus mendalam di Elusa, juga di Gurun Negev. Studi sebelumnya menyatakan bahwa ditinggalkannya tempat pembuangan sampah kota di sini merupakan indikasi keruntuhan sosial. Namun penanggalan sampah tampaknya terbatas dan tidak mewakili keseluruhan.

Kemungkinan terjadi penurunan stabilitas secara bertahap dan struktur sosial ekonomi perlahan terkikis akibat invasi dari Persia. Juga perluasan wilayah Kesultanan Islam. Fragmentasi aktivitas perdagangan yang lambat dan gangguan dalam praktik pertanian menegaskan hal ini.

“Kami pikir mencari perubahan iklim dan wabah sebagai penyebab setiap perubahan signifikan dalam sejarah adalah hal yang bermasalah. Pendekatan ini dapat memengaruhi perdebatan perubahan iklim saat ini ketika mengeklaim bahwa perubahan iklim di masa lalu menyebabkan masalah,” tambah Cosijns

Kedua peneliti menyimpulkan bahwa menyalahkan wabah dan iklim atas kemunduran manusia itu tidak tepat. Pasalnya, hal itu membuat perubahan atau kemunduran yang disebabkan manusia tidak dianggap serius.