'Hutang Kehormatan' Hingga Pasang Surut Penerapan Politik Etis

By Galih Pranata, Rabu, 27 November 2024 | 08:00 WIB
Ratu Wilhelmina membacakan pidatonya untuk penerapan kebijakan etis di Hindia Belanda pada 1901.
Ratu Wilhelmina membacakan pidatonya untuk penerapan kebijakan etis di Hindia Belanda pada 1901. (Nationaal Archief )

Tentunya, jumlah itu dianggap Van Deventer jauh dari kata layak untuk sebuah keluarga Jawa di masa itu. Sebelum mengusulkan solusi terhadap masalah keuangan India, Van Deventer melihat bagaimana masalah tersebut bisa muncul.

Menurut Van Deventer, "situasi finansial dan ekonomi di Hindia akan jauh lebih menguntungkan, jika Belanda selama bertahun-tahun tidak mengikuti sistem pemerintahan yang berkaitan dengan wilayah jajahannya, seperti yang telah diikuti oleh Inggris."

"Sistem eksploitasi koloni demi kepentingan negara induk," imbuhnya, "menghancurkan negeri jajahan selamanya!"

Surat kabar yang ditulis Pieter Brooshoofst, De Locomotief, menulis peringatan: 'Ini adalah tanda-tanda (berakhirnya) zaman!'

Hal itu berarti: Jika penduduk Hindia menyadari bahwa Belanda memperlakukan mereka secara tidak adil, hal ini tidak mungkin membawa dampak baik bagi posisi Belanda di nusantara.

Alasan ini menunjukkan bahwa Van Deventer menganggap perbaikan kondisi penduduk pribumi Hindia diperlukan bukan hanya karena pertimbangan moral dan kemanusiaan, namun juga karena kepentingan Belanda.

Wakil Presiden RI Hatta pada tanggal 27 Desember 1949 di depan Istana Kerajaan di Lapangan Dam dalam perjalanan menuju penyerahan resmi kedaulatan. Hatta adalah salah satu produk positif dari politik etis sebagai katalis nasionalisme di Hindia. (Anefo/Joop van Bilsen)

Dalam ceramahnya di Vrije Universiteit pada tanggal 9 Mei 2012, profesor sejarah Leiden, Cees Fasseur, menandai penerapan Politik Etis bukan pada tahun 1901, melainkan tahun 1860 sebagai 'tahun lahirnya politik etis.'

Pada tahun 1860, Multatuli (Eduard Douwes Dekker) menerbitkan buku terkenal berjudul Max Havelaar atau Lelang Kopi Nederlandsche Handel-Maatschappij. Multatuli mengajukan permohonan mendesak kepada Belanda untuk mengakhiri penyiksaan.

"Di mana penyiksaan itu melibatkan penduduk asli sebagai korbannya dan pemerintah kolonial Hindia Belanda (hampir) tidak berbuat apa-apa," terus Ronald.

Multatuli, Kuyper, Van Kol, Brooshooft, Van Deventer dan para ethiek lainnya—mereka semua mempunyai kepentingan terbaik bagi penduduk pribumi, namun tetap dalam lingkup pemerintahan Belanda.

Jika dirumuskan secara positif, para ethiek ingin memberikan kehidupan yang lebih baik kepada penduduk asli, namun jika dilihat secara lebih skeptis, kebijakan etis (juga) merupakan sarana untuk menjaga kepuasan dan ketenangan penduduk asli.