Narasi Sakral Masyarakat Adat, Penjaga Harapan di Tengah Kegelapan

By Ade S, Senin, 2 Desember 2024 | 12:03 WIB
Mahandis Yoanata Thamrin, Sapariah Saturi, dan Niduparas Erlang dalam acara bertajuk 'Showing Hope: Making Sparks in the Dark' di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (1/12/2024). (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

"Narasi-narasi yang sakral ini sangat penting untuk menjaga kelestarian alam," tegas Nidu.

Ia juga mengagumi sistem pemerintahan adat Baduy yang mampu mempertahankan hutan dan lingkungan mereka dengan sangat baik. "Struktur pemerintahan yang kuat dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat Baduy menjadi kunci keberhasilan mereka," tambahnya.

Cerita pemercik harapan dari masyarakat adat

Diskusi kemudian bergeser kepada pengalaman-pengalaman yang didapat para pembicara saat mereka berada di lapangan, yang dianggap mampu memercikan harapan.

Nidu menyoroti kompleksitas permasalahan yang dihadapi masyarakat adat. Ia mencontohkan kasus Taman Nasional Siberut. "Pemerintah memang bermaksud baik dengan menjadikan Siberut sebagai taman nasional untuk melindungi hutan," ujarnya.

"Namun, kebijakan ini juga membawa dampak negatif bagi masyarakat setempat. Mereka tidak lagi bisa berburu, yang merupakan bagian penting dari mata pencaharian mereka. Jadi, pertanyaannya adalah, apakah masyarakat benar-benar sejahtera dengan kebijakan ini?"

Sementara Yoan membagikan pengalamannya saat mengunjungi Taman Nasional Wasur. Ia terkesan dengan tradisi Sasi yang dijalankan oleh masyarakat setempat.

"Saat ada anggota masyarakat yang meninggal, kawasan tertentu akan ditutup selama beberapa tahun sebagai bentuk penghormatan," jelasnya. "Selama masa penutupan ini, alam bisa pulih dengan sangat baik. Wallaby dan rawa-rawa kembali hidup."

Yoan juga menekankan pentingnya peran masyarakat adat dalam menjaga keanekaragaman hayati Indonesia. "Masyarakat adat memiliki hubungan yang sangat erat dengan alam. Mereka menganggap semua makhluk hidup sebagai bagian dari keluarga besar," ungkapnya.

"Di Wasur, misalnya, ada totem marga yang menggunakan nama hewan. Keluarga yang memiliki totem tertentu akan merasa bertanggung jawab untuk melindungi hewan tersebut."

Arie menambahkan bahwa media memiliki peran penting dalam menyuarakan kisah-kisah masyarakat adat.

"Kami di Mongabay berusaha menyajikan narasi yang komprehensif, termasuk suara-suara dari masyarakat adat," ujarnya. "Tujuannya adalah agar pemerintah dan pihak swasta memahami pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan menghormati hak-hak masyarakat adat."

Arie juga mengkritik pandangan yang menganggap masyarakat adat sebagai kelompok yang tertinggal. "Kita seringkali memaksakan definisi kesejahteraan kita pada mereka," katanya.

"Padahal, banyak masyarakat adat yang telah hidup sejahtera dengan cara mereka sendiri. Petani di tanah Pasundan, misalnya, mampu memenuhi kebutuhan pangan mereka tanpa harus bergantung pada proyek food estate."