Wayang Potehi: Jembatan Dua Budaya yang Kini Hanya 'Ditonton Angin'

By Neza Puspita Sari Rusdi, Selasa, 10 Desember 2024 | 12:00 WIB
Dokumenter kisah perjalanan Dwi Woro Retno Mastuti mengenalkan warisan budaya wayang potehi. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.idLampu ruangan dimatikan, menyisakan cahaya dari lampu proyektor yang kini menampilkan film dokumenter Wayang Potehi. Hening menyelimuti ruangan, penonton larut dalam kisah perjalanan Dwi Woro Retno Mastuti sembari mengenal wayang potehi sebagai warisan budaya akulturasi Cina dan Jawa.

Dwi Woro memulai perjalanannya ketika ia menjadi mahasiswi di Jerman. Saat itu, dia mengunjungi museum untuk melihat wayang-wayang Cina dan langsung jatuh cinta pada wayang potehi.

Selanjutnya pada 2004, Dwi Woro mulai meneliti wayang potehi. Dia mengunjungi klenteng-klenteng di Indonesia untuk melihat pertunjukkan wayang potehi, namun nihil. Tidak ada satu pun klenteng yang menggelar pagelaran wayang potehi, yang merupakan hasil dari diaspora (penyebaran) Tionghoa ke seluruh dunia ketika krisis ekonomi di masa Dinasti Ming.

Dwi Woro pun berinisiatif membangun sanggar budaya Rumah Cinwa (Cinta Wayang) pada tahun 2014. Sebenarnya, pada awalnya cinwa adalah singkatan dari Cina Jawa, tapi lalu ia memutuskan untuk menjadikan sanggar sebagai rumah untuk semua wayang. 

Sebagai orang yang meneliti dan turut melakukan pagelaran wayang, tentu saja dirinya memiliki karakter wayang potehi yang ia kagumi. Ia bercerita dengan penuh semangat dan terharu ketika membicarakan karakter Hwan Lee Hwa, sebagai tokoh wayang perempuan yang dikagumi.

Hwan Lee Hwa adalah panglima perang wanita yang tangguh namun rendah hati, tragedi dengan keluarga membuatnya ia kehilangan keluarga sendiri. "Semua kesuksesan itu pasti ada pengorbanan," ujar Dwi Woro. 

Wayang potehi sebagai warisan budaya yang kian tergerus zaman. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Dalang perempuan di dunia wayang sendiri merupakan hal yang jarang sekali ditemukan. Untuk itu, tidak salah jika pada akhirnya Dwi Woro menjadi dalang perempuan pertama ketika wayang potehi kembali dipentaskan.

Menurutnya, memang terdapat celah atau gap atau diskriminasi bahwasannya dalang itu pasti laki-laki. Namun, di masa sekarang, hal tersebut sudah tidak relevan lagi. Dia menambahkan bahwa menjadi dalang perempuan memang memerlukan ketangguhan, serta kemahiran yang sepadan dengan dalang laki-laki. Kesulitan yang dialaminya juga bukan tentang diskriminasi.

"Sulit, tidak mudah, karena background saya sebagai pengajar, biasanya dua arah, sementara menjadi dalang harus mengubah suara perempuan, suara laki-laki, suara marah, dan lainnya. Itu sulit sekali," jelasnya. 

Mengingat-ingat kembali momen berkesan bagi dirinya, Dwi Woro menceritakan tentang pagelaran wayang potehi yang diadakan di Salihara Art Center yang ia sebut 'kelas dewa'. Sembari mengingat dengan tersenyum ia kembali bercerita.

Baca Juga: Kisah Kepahlawanan Sie Jin Kwie dalam Pementasan Wayang Potehi

Dia dan anak muridnya diundang untuk menggelar pertunjukkan Damarwulan, pertunjukkan wayang kali ini cukup berbeda menurutnya, bahkan meninggalkan kesan mendalam. "Sebetulnya itu dalam sekali buat saya, meleburkan dan meruntuhkan tembok antara dua budaya," kenangnya.

Pertunjukkan di Rumah Cinwa sesaat sebelum adanya Covid-19 sangat ramai. Anak-anak kecil bergerombol menonton dengan penuh hikmat dan tersenyum lebar. Dwi Woro terlihat bahagia mengingatnya. Namun, raut wajahnya kembali berubah sedih. Ia membandingkan jumlah penonton kala itu dengan masa sekarang, jumlahnya turun drastis. 

Terhitung satu dekade perjuangan Dwi Woro untuk memperkenalkan wayang potehi, namun ia tidak pernah letih dan mengeluh. "Ini semua misi suci. Tidak ada penghargaan, tidak ada medali, tidak ada piala, yang ada hanyalah apresiasi," tegas Dwi Woro. 

Mempertahankan budaya bukan sesuatu yang mudah. Menilik kembali bagaimana budaya dapat relevan dengan zaman sekarang, digitalisasi hanya salah satu solusi keberlangsungan atau sustainability sebuah budaya.

Ia menjelaskan bahwa hanya dengan melihat budaya di dalam 'layar' tidak akan pernah cukup. Kita harus melihat, meraba, dan mengapresiasi sebuah budaya.

Dwi Woro terlihat prihatin dengan keadaan sekarang sembari berkata, "Menyentuh benda seni itu sendiri adalah sebuah kekayaan, sebuah sikap satria, karena berani mau meluangkan waktu untuk seni pertunjukkan."

Apresiasi terhadap suatu budaya sudah jarang kita temui di kalangan masyarakat sekarang. Pada nyatanya, apresiasi adalah bentuk penghargaan atau penghormatan yang kian terkikis oleh arus globalisasi.

Dwi Woro berkaca-kaca sembari menatap ke angin kosong depannya. "Biarlah kalau tidak ada yang menonton, biarlah angin yang menonton," ujarnya.