Nationalgeographic.co.id—Pampasan perang adalah satu hal terberat dalam upaya dekolonisasi setelah kemerdekaan Indonesia.
Titik awal upaya Indonesia mendapatkan pampasan Jepang muncul pertama kali dipimpin Menteri Djuanda Kartawidjaja. Mereka menghadapi Gubernur Bank Jepang Juichi Tsushima di Tokyo pada Desember 1951.
Hal ini seharusnya menjadi titik menguntungkan Indonesia. Pampasan perang Asia Pasifik diharapkan dapat membantu meningkatkan pembangunan Indonesia yang baru merdeka.
Delegasi Indonesia meminta pampasan sebesar 17,5 miliar dolar—angka hasil perhitungan kerugian di dalam negeri dan dikonversi dari gulden. Namun, Jepang menolak permintaan Indonesia. Meski tidak besar, angka yang diminta Indonesia setara dengan pendapat nasional Jepang pada 1951.
Tolakan Jepang Membayar Pampasan Perang Asia Pasifik
Jepang ragu membayar karena alasan kedatangannya ke Indonesia untuk membebaskan dari kolonialisme Barat. Lain halnya Indonesia memandang statusnya yang saat itu berada di bawah kedaulatan Belanda sehingga menjadi musuh Jepang. Dengan demikian, secara hukum internasional, Indonesia adalah negara berperang.
Atas logika hukum internasional yang dinyatakan Indonesia, Jepang akhirnya setuju untuk memberikan pampasan perang walau angkanya belum disepakati. Maka, Jepang meyakinkan komunitas bisnis di dalam negeri supaya dapat turut serta dalam pembayaran pampasan perang.
Aiko Kurasawa dalam "Kemerdekaan Bukan Hadiah Jepang" menjelaskan, setelah menyerah tanpa isyarat, AS dan Sekutu memang berencana untuk punya niat untuk membatasi Jepang sebagai kekuatan baru usai perang Asia Pasifik.
Kemudian, AS memiliki kepentingan sehingga mengisyaratkan pampasan perang tidak boleh menyulitkan perekonomian Jepang. Mereka ingin Jepang jadi kekuatan nasional untuk menghalau komunisme Asia. Gagasan ini diwujudkan Perjanjian San Francisco pada September 1951.
DPR RI sebenarnya menolak perjanjian ini karena dianggap menguntungkan Sekutu Barat. Hanya saja, Pemerintah Indonesia segera mengklaim pampasan perang Jepang dari hasil perjanjian.
Delegasi pimpinan Djuanda meminta kompensasi korban nyawa. Jepang menolak karena Perjanjian San Francisco menghendaki pembayaran yang mencakup kerusakan, bukan nyawa manusia.
Baca Juga: Perairan Chuuk Jadi Makam Ratusan Puing Pertempuran Asia Pasifik
Pampasan Perang Asia Pasifik sebagai peluang bisnis
Menlu Jepang Okazaki blunder tentang pampasan perang. "Okazaki menyebutkan bahwa pampasan harus dibayar bukan sebagai kewajiban melainkan sebagai kesempatan untuk mengambil keuntungan ekonomi dari pembangunan yang terjadi di Asia Tenggara," terang Kurasawa.
Pernyataan itu menyakitkan bagi negara-negara Asia Tenggara. Alih-alih berlaku secara etis, walau bermaksud untuk mendorong pebisnis Jepang, Jepang seolah mencari keuntungan investasi. Perwakilan Kemenlu Jepang di Indonesia Eikichi Wajima langsung minta maaf atas isu ini.
Para pebisnis Jepang mulai mendukung pampasan dengan motif ekonomi. Mereka mengandalkan para tokoh Kependudukan Jepang yang pernah dekat dengan tokoh-tokoh Indonesia, termasuk kepada Laksamana Maeda.
Indonesia kemudian meminta penghapusan dagang sebesar 170 juta dolar. Wajima menyarankan agar pemerintah Jepang setuju tetapi ditolak. Pengaturan seperti ini berarti pemerintah harus memberi kompensasi perusahaan Jepang yang terlibat.
Jepang justru membuat kebijakan besaran pampasan dengan perbandingan 4:2:1 untuk Filipna, Indonesia, dan Myanmar. Pihak Indonesia merasa keberatan karena kerugiannya dalam Perang Asia Pasifik dinilai lebih besar daripada Filipina.
Urusan pampasan perang Asia Pasifik mandek pada 1954 sampai 1957. PM Ichiro Hatoyama baru dilantik dan kurang tertarik dengan diplomasi Asia. Dia memilih untuk menyelesaikan perdamaian Jepang-Uni Soviet. Perdamaian itu tidak kunjung selesai karena Uni Soviet sendiri tidak diundang dalam Perjanjian San Francisco.
Pampasan Perang Asia Pasifik sebagai peluang investasi Jepang
Urusan pampasan perang kembali dibahas pada 1957. PM berikutnya, Nobusuke Kishi, berkunjung ke Indonesia menemui Sukarno untuk hubungan bilateral. Kurasawa menulis, "Kishi berpendapat bahwa Jepang berkewajiban secara moral untuk bekerja sama dengan bangsa Asia lainnya dan bahwa Jepang harus mengambil posisinya sebagai anggota Asia".
Kedua pihak sepakat bahwa total yang didapat Indonesia mencapai 800 juta dolar. Angka ini termasuk pampasan sebesar 223 juta dolar, pelepasan aset Jepang kepada Indonesia yang disita sejak 1945, penghapusan utang dagang sekitar 127 dolar, dan bantuan ekonomi sebesar 400 juta dolar.
Baca Juga: Sejarah Indonesia: Kenapa Sukarno Bekerja Sama dengan Jepang demi Kemerdekaan?
Seperti yang disebutkan sebelumnya, hanya 223 juta dolar untuk pampasan perang, walau sebenarnya Indonesia nilai total yang didapat lebih dari itu. Jepang sebenarnya punya motif atas niat ini.
Pada 1955, Myanmar lebih dulu mendapatkan pampasan perang sebesar 200 juta dolar dan Filipina sebesar 550 juta dolar. Jepang tidak mau memberikan uang lebih besar lagi kepada Indonesia pada 1957 karena khawatir Myanmar akan mengajukan protes.
Sukarno paham sehingga menerima pembayaran dalam bentuk lain. Sebagai dampak dari serah terima aset, Kurawa berpendapat bahwa hal ini memengaruhi semangat Indonesia dalam menasionalisasi aset Belanda.
Upaya nasionalisasi aset Belanda tidak berjalan mulus. Sejak Desember 1957, beberapa tokoh pemerintah Indonesia sempat meminta izin penggunaan aset Jepang dengan jaminan berupa pampasan perang Asia Pasifik, padahal belum disahkan.
Jepang awalnya enggan karena khawatir dituduh merebut kepentingan Belanda. Kemudian, setelah penandatanganan pampasan Januari 1958, beberapa proposal proyek yang mendapatkan pampasan sering kali diintervensi Jepang.
"Bagi Indonesia, dana pampasan sangat penting untuk keberlangsungan hidupnya setelah putusnya hubungan ekonomi dengan Belanda," Kurasawa berpendapat. "Namun, tidak dilihat dari segi dampak jangka panjang, banyak proyek yang langgeng bagi Indonesia karena pemilihan proyek tidak selalu didasarkan pada kebutuhan riil."
Hal ini memberi keuntungan kepada perusahaan-perusahaan Jepang yang ditunjuk untuk melaksanakan proyek. "Pembayaran ini dikutuk sebagai 'korupsi pampasan' oleh media Jepang," jelas Kurasawa.
Bagi Jepang, pampasan Asia Pasifik berganti sebagai peluang investasi ekonomi. Sebagian besar perusahaan yang terlibat punya rencana jangka panjang untuk ekspansi di Indonesia di masa depan.
"Sangat disayangkan pembayaran pampasan tidak dilakukan sebagai ungkapan penyesalan dan minta maaf yang tulus dari pihak Jepang, melainkan untuk motif ekonomi," tulis Kurasawa.