Nationalgeographic.co.id—"Design Matters Lab adalah ruang inklusif yang membuka kemungkinan baru dalam membayangkan dan menemukan solusi bagi tantangan sehari-hari melalui pendekatan berbasis desain," ungkap Ratna Djuwita, salah satu desainer Indonesia. "Dalam program ini, saya mendapat kesempatan berharga untuk bertemu dengan rekan-rekan dan mentor multidisiplin serta multietnis, masing-masing dengan gagasan dan perspektif unik mereka."
Lima desainer Indonesia, termasuk Ratna, dipasangkan dengan rekan mereka dari Eropa. Mereka berkolaborasi dengan desainer asal Inggris, Prancis, Belanda, Jerman, dan Irlandia. Awalnya, mereka mengikuti kamp pelatihan daring selama satu bulan. Setelah itu mereka berlanjut dengan residensi selama dua minggu di Bandung pada Desember silam.
Menurut Ratna, pengalaman residensi dan pendampingan ini membuka potensi bagi proses desain yang lebih organik. Bahkan, proyek kolaborasi ini mendorong batas inovasi lintas budaya. "Kami dapat mengamati dan belajar langsung bagaimana pengetahuan lokal diintegrasikan hingga menjadi bagian tak terpisahkan dari proses desain kami," ungkapnya.
Lima pabrik kecil telah menjadi ajang kolaborasi ketika para desainer melakukan residensi di Bandung. Mereka mewujudkan produk inovatif melalui bekerja sama dengan pakar industri untuk mencari material alternatif, bereksperimen dengan desain, melakukan uji coba, dan mengembangkan purwarupa.

Rancangan karya mereka berasal dari limbah dan material berbasis hayati—seperti puntung rokok, kotoran sapi, miselium, kaki ayam, dan ampas kopi. Melalui kolaborasi lintas budaya, para desainer ini mengubah limbah menjadi sumber daya berharga, membuktikan bagaimana desain dapat menjadi solusi berkelanjutan terhadap tantangan lingkungan yang mendesak.
Kolaborasi para desainer lintas benua itu telah menghasilkan lima produk inovatif yang merespons krisis limbah global. Desain kolaborasi itu tidak sekadar menantang konsep estetika dan fungsi, tetapi juga pertukaran budaya, berbagi pengetahuan, dan visi bersama untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.
Design Matters Lab merupakan sebuah inisiatif kolaborasi untuk mengatasi krisis limbah global melalui desain inovatif. Program ini merupakan bagian dari proyek European Spaces of Culture, yang menguji dan mengimplementasikan model kolaborasi inovatif di bidang budaya antara aktor-aktor Eropa dan mitra lokal di negara-negara non-UE.
EUNIC Indonesia Cluster menggelar karya mereka dalam Pameran Design Matters Lab di Erasmus Huis pada 27 Februari sampai 3 Mei 2025. Proyek-proyek yang tampil dalam pameran pertamanya di Indonesia meliputi:
TAC_tiles oleh Chloe Xingyu Tao (Inggris), Fariz Fadhlillah (Indonesia), dan Conture Concrete Lab (Indonesia). Mengintegrasikan beton dan material daur ulang untuk menciptakan alat navigasi intuitif bagi penyandang tunanetra, meningkatkan aksesibilitas di ruang publik.
"Proyek kami, TAC_tiles, menantang saya untuk mengeksplorasi ranah baru dalam desain, penelitian, dan pengembangan material guna menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi penyandang disabilitas netra," ungkap Chloe Xingyu Tao, seorang desainer dari Inggris.
Baca Juga: Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?