Nationalgeographic.co.id—Setelah sebulan penuh menjalani puasa Ramadan, banyak orang kembali ke pola makan normal saat Idulfitri.
Namun, perubahan drastis dari pola makan terbatas ke konsumsi makanan berlebihan dapat memicu efek yoyo, yaitu fluktuasi berat badan yang tidak stabil.
Kondisi ini dapat berdampak pada metabolisme tubuh, meningkatkan risiko gangguan pencernaan, lonjakan gula darah, hingga penumpukan lemak berlebih.
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Mediterranean Journal of Nutrition and Metabolism mengungkap bagaimana efek yoyo dapat terjadi setelah Ramadan.
Penelitian tersebut dipimpin oleh Harry Freitag Luglio Muhammad, seorang ahli gizi dari Universitas Gadjah Mada.
Seperti diketahui, puasa Ramadan sendiri dapat dianggap sebagai bentuk diet intermiten, yaitu pola makan dengan periode berpuasa yang teratur. Meskipun memiliki dampak signifikan terhadap penurunan berat badan, puasa juga membawa tantangan berupa risiko kenaikan berat badan setelahnya.
Dalam penelitian tersebut, ditemukan bahwa efek yoyo setelah puasa Ramadan lebih sering terjadi pada individu dengan kelebihan berat badan atau obesitas. Berat badan mereka mengalami penurunan signifikan di akhir Ramadan, tetapi kembali meningkat setelah puasa selesai.
Untuk memahami perubahan antropometri selama Ramadan, para peneliti membandingkan beberapa parameter komposisi tubuh. Berat badan, indeks massa tubuh (IMT), dan persentase lemak tubuh mengalami penurunan signifikan selama Ramadan, tetapi meningkat kembali setelahnya.
Namun, tidak ada perubahan pada lingkar pinggang dan massa bebas lemak. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan berat badan selama Ramadan lebih disebabkan oleh pengurangan lemak subkutan, bukan lemak viseral atau massa otot.
Faktor Etnis dan Lokasi Berpengaruh terhadap Efek Yoyo
Para peneliti berspekulasi bahwa faktor lokasi dan etnis berperan dalam fenomena kenaikan berat badan setelah Ramadan.
Baca Juga: Pakar Fisika Teori Jelaskan Sains di Balik Dua Kali Ramadan Tahun 2030