Homo Erectus dari Sundaland Berusia 140 Ribu Tahun Ditemukan di Dasar Laut Selat Madura

By Ade S, Jumat, 16 Mei 2025 | 15:03 WIB
Fragmen tengkorak Homo erectus yang ditemukan di dasar laut Selat Madura.
Fragmen tengkorak Homo erectus yang ditemukan di dasar laut Selat Madura. ()

A: Paparan Sunda di Asia Tenggara, dengan kepulauan Indonesia. Kotak menunjukkan posisi peta B. B: Jawa Timur, Selat Madura, Bengawan Solo, Ngandong, Sambungmacan, dan situs hominin lainnya. Kotak menunjukkan posisi peta C. C: Selat Madura di utara Surabaya, dengan area ekstraksi pasir dan lokasi reklamasi lahan BMS.
A: Paparan Sunda di Asia Tenggara, dengan kepulauan Indonesia. Kotak menunjukkan posisi peta B. B: Jawa Timur, Selat Madura, Bengawan Solo, Ngandong, Sambungmacan, dan situs hominin lainnya. Kotak menunjukkan posisi peta C. C: Selat Madura di utara Surabaya, dengan area ekstraksi pasir dan lokasi reklamasi lahan BMS. (Data peta: GEBCO dan ALOS.)

Seperti Apa Wujud Sundaland Dahulu?

Area yang kini dikenal sebagai kepulauan Indonesia dulunya merupakan dataran luas pada zaman prasejarah, terutama saat permukaan laut berada pada kondisi rendah. Pulau-pulau yang ada saat ini sebenarnya adalah perbukitan di dataran yang lebih rendah tersebut.

Harold Berghuis menjelaskan, "Kami menyebut daerah ini Sundaland. Homo erectus menyebar melalui daratan ini dari Asia ke Jawa."

Sebagian besar wilayah Sundaland kini terendam, membentuk dasar Laut Jawa, Laut China Selatan, dan Selat Madura. Hingga temuan ini, fosil belum pernah ditemukan di area yang terendam tersebut, menjadikan penemuan di Selat Madura sangat unik menurut Berghuis. Fosil-fosil ini berasal dari lembah sungai yang kini tenggelam dan seiring waktu terisi oleh pasir sungai.

Umur material ini dipastikan sekitar 140 ribu tahun yang lalu, yaitu pada periode glasial terakhir. Saat itu, sebagian besar belahan bumi utara ditutupi oleh gletser, dan volume air yang tersimpan dalam lapisan es menyebabkan permukaan laut global 100 meter lebih rendah dari kondisi saat ini.

Shinatria menyampaikan, “Hasil penelitian ini menunjukkan rekonstruksi lingkungan Sundaland yang telah tenggelam dan bagaimana kehidupan makhluk hidup penghuninya, seperti yang kita tahu Sundaland memiliki sungai-sungai besar yang pasti dikelilingi oleh kehidupan sehingga akan lebih banyak lagi penemuan semacam ini jika kita melakukan penelitian di perairan kita secara konsisten.”

Sofwan menambahkan bahwa pada 140 ribu tahun yang lalu, Homo erectus hidup dan beradaptasi di tepian sungai yang subur dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, mencakup 36 taksa hewan, di tengah savana Sundaland. Kondisi lingkungan ini, imbuhnya, saat ini hanya bisa disaksikan melalui "fosil"nya di Taman Nasional Baluran.

Fauna Sundaland: Gajah, Badak, Kuda Nil, Biawak Komodo, dan Hiu Sungai

Pada periode tersebut, lingkungan Sundaland diyakini menyerupai savana Afrika modern – berupa padang rumput yang cenderung kering dengan jalur hutan sempit di sepanjang sungai-sungai besar – dan didukung oleh fauna yang kaya. Fauna ini mencakup berbagai spesies gajah, sapi, badak, dan buaya.

Sebagian besar spesies ini kini telah punah, sementara yang lain merupakan nenek moyang dari spesies yang masih ada di wilayah ini namun sangat terancam punah. Contohnya, kuda nil Asia telah punah.

Biawak Komodo saat ini hanya terbatas populasinya di pulau Komodo dan Flores. Hiu sungai saat ini sangat langka di sungai-sungai besar India dan Thailand. Namun, semua hewan ini dilaporkan berkembang dengan baik di Sundaland purba.

Pengetahuan mengenai fauna ini sangat penting untuk memahami keanekaragaman ekosistem di seluruh Asia Tenggara pada masa lalu.

Unggul mencatat bahwa fakta bahwa fragmen Homo erectus ini ditemukan berasosiasi dengan fosil-fosil fauna darat pada endapan sedimen sungai yang kini tertutup air laut merupakan data geologi penting dalam mengungkap kondisi lingkungan purba pada masa lalu di Pulau Jawa bagian ujung timur.

Penelitian ini melibatkan sejumlah institusi dari Indonesia dan luar negeri. Institusi dari Indonesia yang turut serta meliputi Badan Riset dan Inovasi Nasional (Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra), Museum Geologi Bandung, Badan Geologi Kementerian ESDM (Pusat Survei Geologi), Universitas Gajah Mada Yogyakarta, dan Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia (dulu Kemdikbud).

Dukungan teknis dalam penelitian ini diberikan oleh PT Van Oord Indonesia Jakarta, PT Berlian Manyar Sejahtera Surabaya, dan PT Pelabuhan Indonesia.

Sementara itu, institusi dari luar negeri yang terlibat adalah Universitas Leiden (Belanda), Universitas Tokyo (Jepang), Universitas Twente (Belanda), Universitas Shandong (China), Universitas Wollongong (Australia), dan Universitas Griffith (Australia).

---Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News   https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.