Kisah dan foto oleh Margaretha Nethania
Nationalgeographic.co.id—Kehidupan terasa kian berat bagi Darwati (42 tahun). Perempuan nelayan dari Dukuh Tambak Polo, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, itu menanggung beban ganda dalam keluarga. Ia terlibat langsung dalam aktivitas melaut sembari tetap memikul tanggung jawab domestik di rumah.
Setiap hari, Darwati ikut suaminya ke laut untuk menebar jaring, mengangkat jaring, dan mengendalikan perahu. Namun, di mata sebagian tetangga dan aparat desa, ia tetap hanya dianggap sebagai “istri nelayan”. Padahal, Darwati turut berjibaku menghadapi gelombang tinggi, angin kencang, dan cuaca yang tak menentu demi bertahan hidup.
“Diolok-olok, di laut itu diolok-olok, perempuan bisanya cuma macak, masak, dan manak di rumah dan di dapur,” tutur Darwati saat ditemui bulan lalu.
Krisis iklim telah memperberat pekerjaan yang ia jalani. Angin yang tak menentu dan ombak besar membuat waktu melaut tak bisa diprediksi. Kadang bisa berangkat dengan cuaca baik, tetapi pulang tanpa hasil karena cuaca tiba-tiba berubah ekstrem.
“Kadang berangkat enak, tapi di tengah laut ombaknya besar, anginnya kencang, mau nggak mau pulang tanpa hasil,” ujarnya.
Tak hanya keselamatannya yang terancam, hasil tangkapannya juga makin tak menentu. Laut yang berubah-ubah membuat ikan sulit ditemukan. “Dulu ikut suami dapatnya banyak-banyak, sekarang ini lebih berkurang,” tambahnya.
Realita ini dialami banyak perempuan nelayan lainnya di berbagai wilayah pesisir. Data dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menunjukkan bahwa sekitar 70 persen dari 5,6 juta pelaku perikanan skala kecil di Indonesia adalah perempuan.
Mereka aktif dalam seluruh rantai produksi, dari menyiapkan alat tangkap hingga menjual hasil laut. Namun, pengakuan hukum dan perlindungan sosial masih jauh dari kata layak. Sebagian besar dari mereka hanya dicatat sebagai “ibu rumah tangga”.
Bencana rob yang kian sering terjadi akibat krisis iklim tak hanya menggerus tempat tinggal, tetapi juga sumber penghidupan. Banyak warga yang sebelumnya berprofesi sebagai petani atau buruh pabrik, kini beralih menjadi nelayan karena lahan dan pekerjaan mereka musnah. Transisi profesi ini bukan pilihan bebas, melainkan bentuk upaya bertahan hidup di tengah krisis.