Seperti yang Anda ketahui, Pangeran William dan Kate Middleton baru saja memiliki anak ketiga mereka, Louis. Sementara itu, Pangeran Harry berencana menikahi kekasihnya, Meghan Markle, dalam waktu dekat.
Kedua peristiwa penting itu sedang menarik perhatian banyak orang di seluruh dunia. Kisah para bangsawan telah menyusup ke dalam kesadaran kolektif kita. Apa alasannya?
“Kita adalah makhluk sosial,” kata dr. Frank Farley, profesor dan psikolog di Temple University.
Baca juga: Di Australia, Pemakaman Umum Pun Bisa Dijadikan Tempat Wisata
“Melalui media, kita mendapatkan informasi mengenai figur publik, dan terkadang sering menjalani hidup kita melalui mereka,” tambahnya.
Terikat dengan tokoh terkenal
Menurut Farley, fenomena ini dinamakan ‘perilaku parasosial’. Itu merupakan istilah yang digunakan para ilmuwan sosial untuk menggambarkan hubungan satu arah, di mana seseorang bisa sangat tertarik dengan satu tokoh meskipun tidak pernah berinteraksi sebelumnya.
Perilaku parasosial ini meliputi keterikatan kita secara emosional dengan klub sepakbola atau acara televisi favorit – juga kehidupan dan drama keluarga Kerajaan Inggris.
“Kita semua memiliki impian untuk menjadi kaya, terkenal, berpengaruh di lingkungan, dan diliputi kebahagiaan. Ini semua dimulai dari dongeng anak-anak dan menetap dalam diri kita tanpa disadari. Keluarga kerajaan dan artis Hollywood membuat impian itu tetap hidup,” papar Farley.
Beberapa orang menganggap kisah keluarga kerajaan sebagai hiburan dan cerita yang menarik. Farley berpendapat, ada sesuatu yang mengikat dari para bangsawan tersebut – terutama kemampuan mereka untuk membuat hidup terlihat lebih mudah.
“Hidup itu keras, dan menjadi sukses sangat sulit. Namun, lihatlah orang-orang tersebut (keluarga kerajaan): mereka mewarisi kekayaan, gaya, ketenaran, dan pengaruh sosial. Mereka juga hidup dalam istana seperti dalam dongeng,” paparnya.
Eksposur media menciptakan ‘efek putaran’ pada fenomena ini. Karena banyak orang yang tertarik dengan kehidupan figur publik, media terus menerus meliput mereka. Lalu, karena tokoh-tokoh tersebut sering muncul di media, orang-orang jadi sering memperhatikan mereka. Siklusnya berulang, lagi dan lagi.
“Kita hidup di dunia tanpa jeda media. Dengan kata lain, tidak ada jalan keluar. Orang-orang akan terus menginginkan detail kehidupan para figur publik,” tambahnya.
‘Pemujaan’ selebritis
Meskipun media sosial memperburuk situasi ini, namun, konsep ‘pemujaan’ selebritis memang telah lama terjadi.
Lynn McCutcheon, editor North American Journal of Psychology, mulai meneliti fenomena tersebut sejak 2001. Setelahnya, lebih dari 50 studi didekasikan untuk topik tersebut.
Dalam makalah McCutcheon mengenai pemujaan selebritis yang dipublikasikan di British Journal of Psychology, ia dan koleganya membagi tipe penggemar menjadi empat kategori berdasarkan Celebrity Attitude Scale.
Mereka yang berada di spektrum terbawah, hanya menonton atau membaca tentang selebritis atas kemauan mereka sendiri. Sementara, para penggemar yang berada di kategori pertama dan pemuja selebritis sejati, mengubah kegiatan mencari informasi menjadi aktivitas sosial – mereka berbagi berita terbaru, lalu mendiskusikannya dengan orang lain.
Baca juga: Kisah Dari Storm Lake, Kota Kecil yang Merangkul Perbedaan Warganya
Menurut McCutcheon, perilaku ini sebenarnya tidak berbahaya. Namun, beberapa dari mereka terkadang melintasi batas. Banyak orang yang akhirnya terobsesi dengan satu tokoh. Mereka yakin memiliki hubungan dekat dengan orang tersebut dan menganggapnya sebagai belahan jiwa. Bahkan, ada yang melakukan aksi ekstrem seperti menguntit sang idola.
Beberapa faktor bisa memengaruhi ‘pemujaan selebritis’ ini, di antaranya kecemasan dan kesulitan menjalin hubungan sosial. Kesepian dan tingkat kecerdasan yang rendah juga berpengaruh, meskipun hanya sedikit.
McCutcheon mengatakan, media juga memainkan peran. “Semua media berkontribusi terhadap pemujaan selebritis. Itu mempermudah para penggemar untuk merasa dekat dengan figur publik”, katanya.