Pada 1994, produsen sepeda motor asal Amerika, Harley-Davidson mencoba untuk memanfaatkan kepopulerannya dengan meluncurkan produk baru, yakni cologne “Legendary”. Siapa yang tidak menginginkan aroma keringat, kulit, dan knalpot dari jalanan? Begitu pikir mereka.
Namun, sayangnya, produk tersebut gagal menarik perhatian para penggemar Harley-Davidson.
Meskipun begitu, inovasi perusahaan ini tidak terlupakan. Cologne "Legendary" bahkan menjadi objek pertama yang diabadikan dalam ‘museum kegagalan’.
Baca juga: Inspirasi Mengerikan di Balik Lukisan Terbaik Pablo Picasso
The Museum of Failure yang berlokasi di Amerika Serikat dan Swedia ini, memberikan ‘hidup baru’ kepada lebih dari seratus produk gagal.
Para pengunjung bisa melihat berbagai macam objek, dari teknologi yang terlupakan seperti Apple Newton atau Google Glass, hingga produk makanan seperti Cola-Cola BlāK (minuman bersoda dengan rasa kopi) dan lasagna beku dari Colgate.
Inovasi merupakan bisnis yang berisiko, itulah yang didapat dr. Samuel West, pendiri The Museum of Failure, dari penelitiannya sebagai psikolog organisasi. Meskipun ada trial and error, namun yang sering kita dengar hanyalah berita keberhasilannya saja.
“Saya lelah memuja kesuksesan. Masyarakat sering kali mengelukan kesuksesan dan menganggap buruk kegagalan. Ada kisah sukses di mana-mana, tetapi tidak ada yang berbicara tentang kesulitan atau pun kegagalan di baliknya,” kata West.
“Saya ingin menemukan cara baru untuk mengomunikasikan pentingnya kegagalan,” tambahnya.
West lalu memutuskan untuk segera membuka museum di mana di dalamnya terdapat koleksi kesalahan dan kegagalan. Objek dalam museum harus sesuai dengan kriteria inovasi West.
“Contohnya seperti Samsung Notes yang meledak: itu merupakan kontrol kualitas yang buruk. Mereka tidak berusaha membuat sesuatu yang baru. Mereka hanya mengacau,” kata West.