Saat Teroris Korbankan Anak Dalam Aksi Bom, Apa yang Bisa Dilakukan?

By Gita Laras Widyaningrum, Rabu, 16 Mei 2018 | 10:53 WIB
Foto keluarga yang dilaporkan polisi bertanggung jawab atas serangan hari Minggu di Surabaya. (IST)

Serangan bersama keluarga tersebut bisa jadi bagian dari strategi mereka untuk menyebarluaskan propaganda untuk membujuk militan lain agar mengikuti jejak mereka.

Suasana setelah ledakan bom di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya, Minggu (13/5/2018). (Garry Andrew Lotulung)

Kisah “Ummu Shabrina”

Propaganda untuk melibatkan keluarga dalam amaliyah telah beredar sejak tahun 2014 di komunitas militan Indonesia. Sebuah cerita tentang perjalanan keluarga Ummu Shabrina telah tersebar luas. Kisah empat bab ini berakhir dengan penjaga perbatasan menangkap dia dan anak-anaknya.

Ummu Sabrina menutup ceritanya dengan pesan yang kuat kepada semua keluarga pendukung IS untuk memperkuat tekad mereka dan mengorbankan diri mereka untuk Negara Islam.

Peran keluarga dalam radikalisasi

Saya meneliti tentang peran keluarga dalam menciptakan pejihad. Keluarga adalah ruang efektif untuk pengembangan ideologi ekstrem karena merupakan unit utama dalam pengembangan sosial dan psikologis individu melalui proses sosialisasi. Kegiatan sehari-hari seperti mendiskusikan jihadisme, Islam dan politik, menonton video ekstremis bersama, berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan pasangan dan orang tua, dan lain-lain dapat membentuk ideologi tersebut.

Anak-anak melihat apa yang terjadi sebagai sesuatu yang biasa dan umum terjadi dalam keluarga. Mereka mungkin tidak mempertanyakannya, karena mereka memercayai orang tua mereka.

Bagi keluarga yang telah pergi ke Suriah, hidup di bawah penguasa IS juga menciptakan konteks untuk sosialisasi itu sendiri. Tanpa disadari, ideologi jihad menjadi ideologi diterima oleh semua anggota keluarga yang pernah tinggal di sana.

Anak-anak juga meniru bagaimana orang tua mengekspresikan komitmen dan kesetiaan mereka terhadap ideologi atau organisasi setiap hari. Anak akan memperlihatkan “kesetiaan” yang akan mereka berikan pada seseorang atau sesuatu seperti ideologi, pemimpin atau organisasi, dan lain-lain, terbentuk dengan cara ini.

Loyalitas semacam ini tidak serta-merta muncul. Hal ini merupakan hasil penanaman nilai orang tua kepada anak-anak mereka dalam bentuk ide, norma, kebiasaan, dan metode.

Ada beberapa contoh transmisi nilai yang berhasil dari jihadis terkenal yang menjunjung ajaran ayah mereka dan mengikuti karir jihadisme. Hatf Saifurrasul, 13 tahun, meninggal di Suriah pada tahun 2016. Dia adalah putra Saiful Anam atau Brekele, seorang jihadis yang dihukum karena keterlibatannya dalam pemboman di Poso, Maluku pada tahun 2005 dan kejahatan lainnya.

Keluarga seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, keluarga adalah tempat tumbuhnya radikalisasi dan terorisme. Di sisi lain, keluarga juga tempat untuk melepaskan diri dari ideologi ektrem. Kuncinya ada pada hubungan positif antara anggota keluarga termasuk antara orang tua; dan antara orang tua dan anak-anak.

Semakin baik kondisi hubungan keluarga, semakin banyak nilai yang akan diteruskan, karena orang tua memiliki lebih banyak kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai mereka kepada anak-anak; dan sebaliknya, semakin buruk kondisi hubungan keluarga, semakin sedikit nilai yang akan ditransmisikan dalam keluarga.