Hanya dengan satu tatapan, dan prajurit muda itu pun terpesona.
Pria itu sedang berjalan di aula ruang makan ketika matanya terpaku pada seorang wanita berkulit hitam dengan seragam perawat. “Kamu harus tau namaku. Aku adalah pria yang akan menikahimu,” katanya.
Perawat itu pun tertawa: mana mungkin seorang tawanan perang menjalin cinta dengan tim militer Amerika, di tengah-tengah Perang Dunia II? Yang benar saja.
Namun, ternyata, ucapan Friedrich Albert itu menjadi kenyataan. Elinor Powell berhasil jadi miliknya.
Alexis Clark, seorang jurnalis, mengisahkan cerita pasangan tersebut dalam bukunya, Enemies in Love. Menurut Clark, kisah cinta rahasia mereka bermula sebagai pemberontakan Elinor untuk melawan rasisme. Lalu, semakin berkembang dan mendalam di tengah-tengah perang yang penuh prasangka buruk.
Baca juga: Mary Bell, Bocah Pembunuh Berantai Berdarah Dingin Asal Inggris
Itu bermula pada 1944, saat keduanya tiba di kamp Florence, di wilayah pedalaman Arizona Selatan. Friedrich, dokter angkatan udara Jerman (Luftwaffe) yang ditangkap di Italia, merupakan salah satu dari 370 ribu pejuang yang dikirim ke 600 kamp pekerja di AS, saat perang berkecamuk di Eropa.
Sementara itu, Elinor yang berdarah Afrika-Amerika, ditugaskan untuk merawat para tahanan asing. Kebijakan militer melarang semua perawat berkulit hitam untuk melaksanakan pekerjaan bergengsi di luar negeri. Oleh sebab itu, mereka hanya ditempatkan di kamp-kamp tahanan.
Friedrich yang berasal dari Wina, merupakan anak tunggal dari keluarga berada. Orangtua Friedrich memberikan pendidikan yang baik untuknya, namun tidak dengan perhatian dan kasih sayang. Ia pun mencari kenyamanan dari musik jazz dan mengidolakan Billie Holiday serta Ella Fitzgerald.
Bagi Friedrich, Elinor adalah semua yang dia bayangkan dari seorang wanita Amerika. Friedrich merayu Elinor dengan camilan dari dapur tahanan karena ia bertugas menjadi juru masak. Ia akan membuat strudel apel spesial untuk Elinor dan memberikannya bersama kedipan genit.
Saat pria tersebut membuka kelas memasak sebagai bagian dari program rekreasi tahanan, Elinor adalah orang pertama yang mendaftar. Mereka saling menatap sambil mengaduk adonan bauernbrot dan brötchen.
Tak bisa menahan rasa cintanya, Friedrich pun lalu mendaftarkan diri sebagai relawan penerjemah di rumah sakit kamp agar bisa lebih dekat dengan Elinor. Keduanya sering mencuri waktu untuk bertemu secara diam-diam.
“Saya bisa mengatakan bahwa Elinor benar-benar sedang jatuh cinta. Cara dia melihat Friedrich, kami langsung mengetahuinya,” kenang Gwyneth Blessit Moore, perawat lain di kamp.
Sebenarnya, berhubungan dengan tahanan perang bisa membuat Elinor mendapatkan sanski militer. Namun, rekan-rekan perawatnya berusaha untuk mengamankan rahasia hubungan mereka.
Meskipun berisiko, kisah cinta rahasia Friedrich dan Elinor bertahan lebih dari satu tahun. Selama itu, hubungan mereka tidak pernah terdengar oleh para petinggi. Suatu hari, Friedrich tertangkap saat menyelinap dari tahanan untuk menemui Elinor di malam hari. Petugas memangkas rambut dan memukulinya, namun mereka tidak tahu Friedrich ingin pergi ke mana.
Mereka tetap bersama hingga Jerman menyerah, bom atom dijatuhkan, dan para diplomat menyusun rencana perdamaian.
Tidak ada tahanan Jerman yang bisa mendapatkan visa dan tinggal di AS setelah perang. Satu-satunya cara adalah: Friedrich harus menjadi ayah dari anak Amerika Elinor. Tepat sebelum kembali ke Eropa pada 1946, Elinor hamil. Ia menyembunyikan kehamilannya hingga masa-masa terakhir pelayanan militer, sebelum akhirnya kembali ke Massachussetts untuk melahirkan.
“Kamu adalah bagian dari hidupku. Aku sangat membutuhkanmu,” tulis Friedrich dalam suratnya, pada masa perpisahan sementara dengan Elinor.
Saat bayi mereka, Stephen, lahir, rencananya berhasil. Dengan sertifikat kelahiran Stephen, Friedrich akhirnya mendapat visa tinggal di AS.
Pada 26 Juni 1947, beberapa hari setelah Friedrich sampai di AS, pasangan ini menikah di New York. Friedrich mengubah namanya menjadi “Frederick” sebagai penanda untuk memulai hidup baru di AS.
Namun, memiliki rumah di lingkungan masyarakat yang fanatik ternyata lebih sulit dari menjalani hubungan terlarang di zaman perang. Selama satu dekade ke depan, Frederick dan Elinor harus melintasi dua benua untuk mencari komunitas yang bisa menerima keluarga ras campuran mereka.
Di Boston, seorang tuan tanah mengusir mereka setelah beberapa tetangga merasa keberatan tinggal di dekat mantan tentara Nazi. Sementara yang lainnya, tidak mau ada wanita kulit hitam di lingkungannya.
Di Pennsylvania, Stephen dipaksa masuk sekolah dasar terpisah, meski hukum negara melarangnya.
Saat tinggal di Göttingen, Jerman, Frederick bekerja di perusahaan batu bata milik ayahnya. Namun, perilaku rasis dari ibu Frederick, memaksa mereka pergi dari sana. Sang ibu sering kali mencemooh Elinor dengan mengatakan: “Mengapa anakku tidak bisa menikahi wanita berkulit putih?”.
Baca juga: Mengintip Arsip Sejarah Transportasi Yogyakarta Tempo Dulu
Pada akhirnya, keluarga kecil mereka menemukan rumah di Village Creek, Norwalk, Connecticut, dan menetap selamanya di sana.
Frederick mengubah pengalamannya di tahanan menjadi karir. Ia menjabat sebagai wakil presiden di Pepperridge Farm dan bertanggung jawab untuk eksperimen resep di dapur. Salah satu produk unggulannya adalah pai apel yang terinspirasi dari strudel spesial yang dibuat Frederick untuk Elinor, bertahun-tahun lalu.
Frederick meninggal di usia ke-75 pada 2001. Dan Elinor menyerah pada kanker saat umurnya berusia 84 pada 2005. “Mereka saling mencintai sampai ajal menjemput,” ujar Chris, anak kedua Frederick dan Elinor.