Kisah Dua Orang Pangeran Makassar di Negeri Napoleon Bonaparte

By Gregorius Bhisma Adinaya, Senin, 28 Mei 2018 | 12:21 WIB
Ilustrasi kebangsawanan Perancis ()

Untuk dapat mencetak karir yang bagus, Daeng Ruru membutuhkan dukungan harta selain menjadi seorang yang cerdas—karena itu tunjangan keuangan dari kerajaan kepada Daeng Ruru merupakan hal yang sangat penting.

Pada 3 Januari 1707, pangeran muda dengan nama Louis Pierre Makassar ini bertugas di kapal Jason—kapal dengan 54 meriam—dengan tugas memburu kapal penyerang Belanda Vlisingen. Tak lama setelah itu, ia bertugas di kapal Grand yang mengambil bagian dalam armada laut Laksamana Ducasse. Pada 19 Oktober 1707, armada laut itu tiba di Havana untuk membantu Spanyol bertempur melawan Inggris. Namun, pangeran dari Makassar itu meninggal pada 19 Mei 1708, entah perkara kehormatan atau hutang judi.

Daeng Tulolo

Setelah mengetahui kematian Daeng Ruru, Daeng Tulolo, alias Louis Dauphin Makassar, kembali ke Makassar untuk mengambil alih takhta moyangnya. Untuk pulang, Raja Perancis mengizinkan Daeng Tulolo menggunakan kapal raja.

Daeng Tulolo amat menekuni agama Katolik. Bahkan sebelum meninggalkan Paris, ia membuat sebuah gambar yang dipersembahkan untuk Perawan Suci Maria, dan mendirikan ordo yang disebut "Bintang"—para satrianya harus memakai pita putih.

Gambar itu diletakkan di dalam gereja Notre-Dame—beberapa tahun kemudian diturunkan setelah sang pangeran kembali memeluk agama moyangnya dengan alasan poligami.

Baca juga: Fosil Ini Ungkap Kelompok Mamalia Purba dan Terbelahnya Benua Pangaea

Tidak seperti sang kakak, Daeng Tulolo lulus lebih lama dari sekolahnya, tepatnya 18 Mei 1699 dan harus menunggu 13 tahun sebelum diangkat menjadi letnan muda di usia 38 tahun. Pangkat itu ia sandang seumur hidupnya.

Dalam usia 62 tahun, ia meninggal, tepatnya pada tanggal 30 November 1376. Daeng Tulolo disemayamkan di gereja Carmes dan dihadiri oleh beberapa perwira angkatan laut.

Jenazahnya dikuburkan dalam gereja Louis de Brest—hancur ketika terjadi pemboman saat Perang Dunia II.

Kisah selengkapnya dapat dibaca dalam buku "Orang Indonesia dan Orang Prancis: dari abad XVI sampai dengan abad XX" karya Bernard Dorléans