Ilmuwan Selidiki Asal Penyakit Sifilis Melalui Kerangka 300 Tahun

By Gita Laras Widyaningrum, Jumat, 22 Juni 2018 | 15:31 WIB
Kerangka dari salah satu individu pengidap sifilis yang diketahui berusia enam bulan ketika meninggal. (via inverse.com)

Pada 1494, setelah pelayaran pertama Columbus ke Dunia Baru (Benua Amerika), catatan sejarah di Eropa menggambarkan adanya wabah penyakit misterius – yang kini diketahui sebagai sifilis.

Epidemi tersebut memicu perdebatan yang masih belum terjawab ilmu pengetahuan modern: apakah sifilis, penyakit menular seksual, dibawa kembali ke Eropa dari Amerika, atau memang sudah ada pada populasi di timur Atlantik tersebut?

Metode sebelumnya untuk menemukan asal-usul penyakit ini, bergantung pada catatan historis atau dari hasil identifikasi kerangka. Namun, masalahnya, gejala sifilis yang ditunjukkan terkadang juga mirip dengan frambusia (sama-sama disebabkan oleh bakteri treponema pallidum).

Baca juga: Dianggap Mengerikan, T-Rex Ternyata Tak Bisa Menjulurkan Lidahnya

Namun, tidak seperti penyakit kelamin sifilis, frambusia adalah penyakit yang ditularkan melalui kontak antarkulit (non seksual) – menyebabkan lesi dan bisul.

Saat ini, para ilmuwan telah mengembangkan cara genetik untuk mengetahui perbedaan subspesies sifilis dan frambusia pada sisa-sisa tulang manusia.

Melihat lebih dekat

Para ilmuwan memulai penelitian dengan mencari kerangka manusia yang mengalami lesi – tanda bahwa mereka pernah mempunyai bakteri penyebab sifilis.

Lima set kerangka bayi dengan deformasi tulang dikumpulkan dari pemakaman di biara Santa Isabel -- sebuah situs sejarah di Mexico City yang dijalankan oleh para biarawati dai ordo Fransiskan pada 1681 hingga 1861.

Dari lima kerangka, tiga di antaranya positif mengandung bakteri Treponema pallidum.

“Strategi kami adalah meneliti bayi baru lahir yang sudah terinfeksi sifilis karena mereka memiliki beban patogen yang lebih tinggi,” kata Verena Scheunemann, pemipin studi yang dipublikasikan pada PLOS Neglected Tropica Diseases.

Bayi-bayi itu mendapatkan sifilis dari ibu mereka sejak berada dalam kandungan. Karena sistem kekebalan mereka masih lemah, maka konsentrasi bakterinya lebih tinggi.

Para ahli genetik lalu mengisolasi gen-gen sifilis bersejarah tersebut untuk pertama kalinya. Mereka mampu mengidentifikasi subspesies bakteri sifilis pada dua individu dan subspesies bakteri penyebab frambusia di satu individu lainnya.

“Sekarang, dengan metode yang digunakan di sini, sangat mungkin untuk melangkah lebih jauh ke masa lalu. Melihat sifilis di era pra-Columbus dan mencari tahu darimana asalnya,” ungkap Scheunemann.

Butuh kesabaran

Meskipun teknik pengurutan genom pada sisa-sisa manusia telah menyajikan alat baru yang menarik untuk mempelajari sifilis, namun menurut Molly Zuckerman, antropolog dari Mississippi State University, menemukan sekumpulan kerangka manusia akan menjadi tantangan terbesar.

Untuk melacak kasus sifilis yang didiagnosis sebelumnya, “langkah selanjutnya adalah melihat berbagai sampel berbeda,” kata Scheunemann.

“Kami belum tahu apakah bakteri yang ditemukan pada era kolonial Meksiko ini, sama dengan di Eropa.”

Sebuah studi 2016 yang dipublikasikan pada International Journal of Paleopathology, meneliti tulang pria berusia 2200 tahun dari Cile Utara. Tulang itu menunjukkan tanda-tanda aneurisma aorta toraks, yang kadang terjadi pada pengidap sifilis. Namun, karena teknologi pengurutan genom belum dilakukan saat itu, masih belum jelas apakah pria tersebut mengidap sifilis atau frambusia.

Treponema pallidum. (Getty Images)

“Anda tidak bisa membedakan kedua penyakit itu secara skeletal, tapi dengan genetik,” kata Zuckerman, yang fokus penelitiannya adalah evolusi penyakit menular.

Studinya sendiri mengantarkan kepada hipotesis bahwa bakteri triponema awalnya berasal dari Dunia Baru. Ia menjelma menjadi frambusia melalui penularan antarkulit yang terjadi akibat paparan iklim hangat. Ketika patogen itu menyebar ke Eropa, cuaca sedang dan kontak kulit melalui aktivitas seksual memungkinkan bakteri semakin berkembang.

Baca juga: Arkeolog Temukan Dua Kerangka Pria dengan Kaki Terpotong di Inggris

Mendiagnosis sifilis lebih awal

Memahami evolusi bakteri dapat membantu para peneliti untuk mendiagnosis penyakit sifilis pada tahap awal.

“Mendapatkan wawasan tentang bagaimana virus terjadi di masa lalu, dapat memberikan diagnosis yang lebih baik untuk masa sekarang,” tegas Zuckerman.

Informasi mengenai sifilis sangat dibutuhkan karena ia semakin berkembang saat ini. Dari 2014 hingga 2015, Centers for Disease Control melaporkan, terjadi kenaikan penyakit sifilis hingga 17% -- dan itu berlanjut menyebar ke seluruh dunia.