Kisah Dua Pengantin Anak Suriah yang Menikah di Usia 14 Tahun

By Gita Laras Widyaningrum, Rabu, 11 Juli 2018 | 14:47 WIB
Perang Suriah telah menciptakan pusaran pernikahan dini. (Al Jazeera)

Setiap tahunnya, masa kecil 15 juta anak perempuan di seluruh dunia berakhir ketika mereka harus menikah sebelum berusia 18 tahun. Menurut International Centre for Research on Women (ICRW), Asia Selatan memiliki jumlah pengantin anak terbesar. Namun, pernikahan dini sendiri merupakan fenomena global.

Penelitian menunjukkan, anak-anak perempuan yang tinggal dalam kemiskinan, lebih rentan terhadap hal tersebut. Dan pada akhirnya, dengan menikah di umur yang masih sangat muda, mereka kembali mengulang siklus kemiskinan.

UNICEF mengatakan, setelah menikah, anak-anak itu harus keluar dari sekolah. Mengakibatkan kesulitan untuk mencari pekerjaan di masa depan.

“Aku tidak bisa pergi ke sekolah karena perang,” ujar Ola, pengungsi Suriah yang menikah di umur 14 tahun.

“Kami harus tinggal di rumah karena sekolah ditutup. Aku hanya belajar sampai kelas enam,” katanya.

Baca juga: Menghilangkan Banyak Nyawa, Inilah 8 Diktator Terkejam di Dunia

Perang Suriah telah menciptakan pusaran pernikahan dini. Hidup berpindah-pindah, kemiskinan, dan khawatir akan keselamatan anak-anaknya mendorong keluarga untuk menikahkan putri mereka. “Saya meninggalkan Aleppo enam tahun lalu,” kata Fatima, pengungsi Suriah yang tinggal di kamp Yordania.

“Kami biasa pergi ke sekolah, lalu pulang ke rumah setelahnya. Aku mengerjakan PR dan bermain bersama teman-teman. Jika masalahnya sudah berakhir, aku pasti akan kembali. Namun, belum bisa sekarang karena situasi yang sedang berlangsung. Di sana, hanya ada teror dan ketakutan,” cerita Fatima.

Saat ini, Yordania menjadi rumah bagi 650 ribu pengungsi Suriah. UNICEF mengatakan, ‘wabah pernikahan anak’ sedang berkembang di sana.

Sejak awal perang Suriah pada 2011 hingga sekarang, pernikahan anak telah meningkat dari 15% menjadi 36%.

Pengantin anak biasanya menghadapi kekerasan dalam rumah tangga, geraknya dibatasi, dan tidak diberi kesempatan untuk mengambil keputusan dalam keluarga.

Meskipun mendapat izin dari orangtua, namun menurut ICRW, pernikahan anak termasuk bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan.

Ingin menjadi dokter

Fatima bertunangan sebelum dia berulang tahun ke-15. Orangtuanya mengatakan bahwa ia harus menikah dengan pengungsi Suriah lainnya.

“Aku bahkan belum berusia 15 tahun. Aku takut dan menangis. Pertama-tama, aku bilang kepada mereka bahwa aku tidak ingin menikah. Aku masih terlalu muda. Kemudian, orangtua mencoba meyakinkanku bahwa calon suamiku adalah pria yang baik…..Aku bingung: harus setuju atau menolak? Namun, karena pria itu berasal dari keluarga yang baik dan pekerja keras, aku akhirnya setuju,” papar Fatima.

Setelah meninggalkan rumahnya di Aleppo, enam tahun lalu, Fatima dan keluarganya telah menahan rasa takut, lapar, dan kemiskinan.

Perang memaksa gadis ini keluar dari sekolah ketika berusia sepuluh tahun. Fatima mengatakan, jika jalan takdirnya berbeda, mungkin ia sudah menjadi dokter sekarang.

Namun, sebaliknya, Fatima kini menjadi istri berusia 16 tahun, juga ibu dari bayi berusia lima bulan dan yang sedang berada dalam kandungannya.  

“Aku cukup senang dengan kehidupanku. Jika aku puas, maka bukan urusan orang lain lagi sekarang,” katanya.

Meski begitu, ketika ditanya tentang anak perempuannya, Fatima mengatakan bahwa ia ingin anaknya menyelesaikan pendidikan dengan baik dan tidak menikah muda.

“Dia harus menunggu sampai berumur 20 atau 25 tahun. Akan ada tanggung jawab yang sangat besar yang sulit ditanggung ketika muda,” imbuh Fatima.

“Aku harap aku bisa menyelesaikan sekolah. Aku ingin menjadi dokter. Tidak pernah berpikir tentang pernikahan sebelumnya,” pungkas Fatima.

Merasa seperti dipenjara

Sementara itu, Ola baru berusia 13 tahun ketika orangtuanya membicarakan topik pernikahan. Setelah satu tahun bertunangan, Ola menikah di usia ke-14.

“Awalnya aku merasa bahagia karena membayangkan mengenakan gaun putih yang cantik. Aku berpikir bahwa pria itu akan mencintaiku dan kami menjalani kehidupan yang lebih baik. Ia akan membawaku ke mana pun yang aku mau. Aku pikir, dia akan mencintaiku lebih dari keluarganya sendiri,” Ola mengenang kembali perasaannya ketika sang orangtua memberi tahu tentang pernikahan.

Namun sayangnya, setelah menikah, hubungan suami istri baru tersebut memburuk dengan cepat.

“Dia tidak memiliki pekerjaan dan bergantung pada keluarganya. Aku tidak tahu kalau keadaannya seperti itu. Setelah pernikahan, kami sering bertengkar karena dia tidak bekerja,” cerita Ola.

“Keluarga suamiku juga ikut campur dalam rumah tangga kami dan itu menimbulkan masalah. Mereka membantah semua perkataanku. Aku harus memasak, mencuci, membersihkan rumah dan sehari-hari tinggal di dapur…..

Rasanya seperti dipenjara. Aku tidak bisa bebas,” tambahnya.

Baca juga: Dampak Pemisahan Anak-anak Imigran dari Orangtuanya: Stres Permanen

Ola merasa beruntung karena belum memiliki anak. Gadis berusia 17 tahun ini sudah sering pergi ke pengadilan Yordania untuk bercerai. Namun, suami dan keluarganya menghilang dan kasus perceraiannya pun dihentikan.

Ola mengatakan, ia sangat menyesal menikah muda karena tidak bisa menyelesaikan sekolah.

“Tidak ada seorang pun yang harus menikah secepat itu. Anda tidak perlu mendengar suami berulang kali mengatakan apa yang harus dilakukan. Lebih baik menjalani hidup seorang diri sebelum menikah karena mungkin tidak akan mendapatkan kesempatan yang sama lagi setelahnya,” kata Ola.

“Kehidupan wanita pasti jauh lebih baik sebelum menikah karena dia tidak berkomitmen pada apa pun,” pungkasnya.