Pada kesempatan yang sama Gubernur Jawa Tengah juga membuka pameran benda-benda koleksi Peranakan Tionghoa Indonesia bertajuk Warisan Peranakan.
Banyak koleksi peranti masa silam yang dipamerkan masih berperan dalam keseharian keluarga peranakan Tionghoa. Dari ukiran pada furnitur sampai pilihan buah dan menu makanan dalam ritual.
Pada hari berikutnya, empat narasumber memaparkan pemahaman yang lebih mendalam seputar kebudayaan peranakan Tionghoa di Indonesia. Pembicara pembukanya adalah Yudi Latief.
Ia dikenal sebagai seorang cendekiawan, ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia, dan Direktur Eksekutif Reform Institute.
“Indonesia adalah the greatest megamelting pot!” kaya Yudi.
Peradaban adalah hasil dari perjumpaan, dan Indonesia memiliki riwayat perjumpaan yang kompleks melebihi riwayat ragam perjumpaan di belahan Bumi manapun. Keragaman perjumpaan itu meliputi perjumpaan dalam konteks geografi, manusia, dan ragam budaya.
“Indonesia adalah pusat peleburan. Indonesia dipersatukan oleh nasib. Indonesia dipersatukan oleh benua yang lepas,” ungkapnya.
“Dari sisi tanahnya, Indonesia sudah menunjukkan unity of diversity.” Maka, tidak mengherankan pula apabila teori evolusi memiliki asal usul dari Nusantara. Tidaklah mengherankan pula apabila tujuh komoditi penting dalam perdagangan internasional pernah berasal dari Indonesia.
Salah satu hasil dari perjumpaan itu melahirkan budaya kuliner, ungkap Yudi. Kita mengenal beragam jenis soto yang tersebar di penjuru Nusantara.
Baca juga: Apakah Alien Pernah Tinggal di Bulan? Ini Penjelasan Ilmuwan
Kendati memiliki cara meracik dan cita rasa yang beragam, santapan berkuah ini memiliki akar yang sama, yakni perpaduan kuliner asal Tiongkok yang disesuaikan dengan cita rasa dan selera setempat.
“Soto adalah produk peranakan tersukses di Indonesia,” ujarnya. “Indonesia dipersatukan oleh soto!”
Diskusi panel berlanjut bersama sederet pembicara:
Didi Kwartanada, sejarawan yang meneliti sejarah etnis Tionghoa; Boedi Mranata, pegiat Komunitas Lintas Budaya Indonesia dan ketua Himpunan Keramik Indonesia; Azmi Abubakar, pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa; dan Rafael Soenarto, pemerhati budaya Tionghoa asal Semarang dan pegiat Perkumpulan Sosial Rasa Dharma Semarang.