Kerusakan Trisomy 21 dan Dampaknya pada Gangguan Perkembangan

By Vinsensia Pintaria, Rabu, 5 September 2018 | 18:08 WIB
Anak dengan down syndrome sering mendapatkan perlakuan yang tidak baik. (DenKuvaiev/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - Down syndrome atau DS adalah sebuah kondisi genetik di mana terjadi penghambatan perkembangan secara intelektual dan fisik seseorang.

Dr. John Langdong Down pada penelitiannya tahun 1866, mengatakan bahwa DS berdampak pada bentuk mata khas Mongoloid (tidak memiliki lipatan mata dan kecil), ukuran tengkorak kepala lebih kecil dari rata-rata manusia, susah berbicara, lambat dalam berpikir, dan emosi yang tidak terkontrol.

Baca juga: Mengapa Seseorang Bisa Berhalusinasi? Ini Beberapa Penyebabnya

DS terjadi karena adanya kelebihan dan rusaknya kromosom #21 atau Trisomy 21 pada janin. Sekitar 95% penderita DS memiliki Trisomy 21 yang rusak ini. Normalnya, seorang bayi hanya memiliki 2 Trisomy 21, yang kemudian bertumbuh menjadi 3 akibat gagal membelah diri secara sempurna. Kromosom yang lebih itu kemudian meniru dan menempel pada setiap sel yang membentuk tubuh janin. Sel yang "dihinggapi" ini kemudian rusak dan memengaruhi janin.

Menurut seorang ahli, terjadinya DS sangat dipengaruhi oleh usia ibu saat hamil. 80% anak dengan sindrom ini disebabkan oleh kehamilan di usia yang cukup tua yaitu 35 tahun keatas atau menjelang masa menopause.

Selain itu, kondisi DS anak juga dipengaruhi oleh bentuk Trisomy 21, Translocation (Translokasi), dan Mosaicim (Mosaik). Berbeda dengan Trisomy 21, bentuk Translokasi dan Mosaik hanya menyebabkan 1-4% kasus Down Syndrome.

Namun pada 1932, de Waardenburg menemukan adanya sesuatu yang baru, yaitu sindrom ini diakibatkan oleh adanya kerusakan saat pembentukan mutasi genetik di dalam kandungan – yang membuat perkembangan intelektual dan fisik seseorang terhambat.

De Waardenburg menambahkan bahwa sindrom ini terjadi pada 1:800 kelahiran di dunia, pada ras dan golongan ekonomi apapun. Jadi, sindrom ini cukup mudah untuk ditemukan. Kabar baiknya, seseorang yang memiliki sindrom ini dapat hidup secara produktif, mulai dari usia anak-anak hingga dewasa.

Anak-anak penderita DS memiliki masalah dengan panca indera pendengaran dan penglihatan – juga tiroid. Selain itu, anak dengan sindrom ini juga lebih rentan terhadap penyakit dan infeksi dibanding anak-anak pada umumnya.

Diperkirakan 40% anak-anak dengan sindrom ini mengalami kerusakan hati bawaan sehingga perlu menjalani Echocardiogram. Echocardiogram berguna untuk mendeteksi kesehatan jantung dan organ-organ vital internal anak. Itulah mengapa cukup jarang menemukan penyandang Down Syndrome dengan umur diatas 60 tahun.

Baca juga: Jadi Sumber Penyakit, Hentikan Kebiasaan Membawa Ponsel ke Toilet!

Sayangnya, tidak semua penyandang DS dapat merasakan kesempatan ini. Tidak sedikit penyandang DS hidup di rumah rehabilitasi karena dianggap mengganggu dan perlu perawatan khusus agar dapat berbaur dengan orang lain.

Tidak sedikit juga yang mengaitkan DS dengan autisme. Hal itu tidak sepenuhnya benar, karena autisme lebih banyak diakibatkan oleh adanya hambatan dalam perkembangan mental.

Perlu diingat, meskipun sama-sama memiliki kekurangan pada fisik dan mental, tetapi penyandang DS juga memiliki talenta yang terkadang jauh melebihi kapasitas orang-orang pada umumnya. Kita harus menghormati mereka karena mereka pun ikut berjuang untuk hidup, sama seperti yang lainnya.