Tindakan tersebut merupakan pertanda sebuah masalah moral yang serius, karena praktik mengambil selfie di lokasi bencana lebih jahat daripada menjadi pengamat saja. Kebiasaan tersebut merupakan gejala patologi sosial, yaitu hilangnya rasa empati.
Orang lain bisa berpendapat bahwa mengambil selfie pada lokasi bencana adalah hal yang bisa diterima. Mereka bisa berargumen bahwa foto-foto tersebut dibutuhkan sebagai bukti bahwa pembagian bantuan benar-benar dilaksanakan. Saya bisa menerima alasan tersebut asal tindakan tersebut tidak dilakukan untuk kepentingan pribadi, seperti misalnya meningkatkan popularitas di media sosial.
Namun, terlepas dari masalah kesehatan mental, mengambil selfie di lokasi bencana juga berbahaya dan bisa mengancam jiwa.
Misalnya sewaktu proses evakuasi saat terjadi kebakaran hutan, orang-orang yang penasaran yang ingin mengambil selfie dapat membahayakan keselamatan mereka. Tindakan mereka juga dapat menghambat proses evakuasi.
Salah satu solusi untuk mengendalikan kebiasaan ambil selfie di lokasi bencana adalah dengan mencoba menempatkan diri kita pada posisi korban. Apakah Anda suka jika ada orang asing berpose untuk sebuah foto sementara Anda menderita? Saya yakin tidak ada manusia yang ingin diperlakukan seperti itu.
Secara psikologis, para korban akan menderita dua kali karena tidak mendapatkan bantuan yang diperlukan dan juga tanpa sengaja dibuat menjadi bagian dari ‘semacam pertunjukan.’
Kita harus berempati dengan para korban dan mempertimbangkan apa yang mereka alami. Saya mengerti bahwa teknologi informasi telah mengubah cara kita untuk mendapatkan informasi. Tetapi jika kita tahu bahwa kita tidak dapat melakukan apa pun untuk membantu korban, setidaknya tolong kurangi beban mereka dengan tidak menjadikan mereka objek demi memuaskan keingintahuan kita.
Rizqy Amelia Zein, Assistant Lecturer in Social and Personality Psychology, Universitas Airlangga
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR