Nationalgeographic.co.id - Jauh di bawah tambang, di dasar danau, bahkan di usus kita sendiri, bakteri bekerja keras menghasilkan listrik untuk bertahan hidup dalam lingkungan rendah oksigen.
Sang penghasil tenaga ini kemudian dimanfaatkan oleh para peneliti untuk memberikan daya pada berbagai macam hal, mulai dari baterai hingga 'biohome'.
Ada banyak jenis bakteri yang dapat memproduksi listrik, namun beberapa lebih bagus dari yang lainnya. Masalahnya adalah mereka sangat sulit untuk dikembangkan dalam laboratorium. Juga membutuhkan biaya yang mahal.
Baca Juga : Demam Berdarah: Memanfaatkan Google Trends Sebagai Sistem Monitoring
Namun, teknik terbaru dari para insinyur di MIT, membuat pengurutan dan identifikasi bakteri penghasil listrik tersebut menjadi lebih mudah dari sebelumnya sehingga siap diaplikasikan pada teknologi yang digunakan sehari-hari.
Bakteri penghasil listrik mampu melakukan trik dengan memproduksi elektron di dalam sel, kemudian melepaskannya melalui saluran kecil di membran sel. Proses tersebut dikenal dengan nama transfer elektron ekstraseluler (EET).
Sebenarnya, peneliti bisa mengidentifikasi kemampuan bakteri memproduksi listrik dengan menghitung aktivitas EET. Namun, cara itu cukup sulit dan memakan waktu.
Oleh sebab itu, peneliti biasanya menggunakan proses dielektroforesis untuk memisahkan dua jenis bakteri berdasarkan sifat kelistrikannya.
Dengan menerapkan voltase kecil pada strain bakteri dalam saluran mikrofluida yang berbentuk jam pasir, tim ilmuwan dapat memisahkan dan mengukur berbagai jenis sel yang saling terkait.
Baca Juga : Belajar Membaca dan Kaitannya dengan Belajar Musik Sejak Dini
Selain itu, dengan mencatat tegangan yang diperlukan untuk memanipulasi bakteri dan merekam ukuran sel, para peneliti dapat menghitung polarisasi masing-masing bakteri,
Hasil studi menyimpulkan bahwa bakteri dengan polarisasi yang lebih tinggi merupakan produsen listrik aktif.
Selanjutnya, para peneliti juga akan meneliti bakteri yang dianggap sebagai kandidat terkuat untuk memproduksi listrik di masa depan.
Source | : | Science Alert |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR