Nationalgeographic.co.id - Pernahkah Anda bertanya-tanya, bagaimana astronot menjalankan ibadah di luar angkasa? Pertanyaan ini pernah didiskusikan pada 2007 ketika Malaysia akan mengirimkan astronot pertamanya ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) selama 10 hari.
Ketika Sheikh Muszaphar Shukor dikirim ke ISS pada 10 Oktober 2007, sebetulnya bulan puasa pada tahun itu hanya tinggal dua atau tiga hari saja. Namun, Shukor yang telah berpuasa selama pelatihan berkata bahwa dia tetap ingin berpuasa ketika di ISS.
Masalahnya, ISS mengelilingi bumi 16 kali dalam sehari yang berarti matahari terbit dan terbenam setiap 90 menit. Selain itu, dengan kecepatan tersebut, ISS mengalami kondisi mikrogravitasi yang menyulitkan para astronot untuk berlutut.
Baca Juga : Mengapa Asteroid yang Berpotensi Menabrak Bumi Begitu Sulit Dideteksi?
Kebingungan ini pun akhirnya dijawab oleh Dewan Fatwa Nasional Malaysia yang menerbitkan buku panduan untuk beribadah di ISS.
Mereka menulis, puasa bisa dilakukan di ISS atau Qada’ (kompensasi) di Bumi (selama bulan Ramadhan). Waktu untuk berpuasa disesuaikan dengan zona waktu dari lokasi diluncurkannya astronot.
Pernyataan tersebut kembali dijelaskan oleh mantan Menteri Sains Malaysia, Jamaluddin Jarjis, yang berkata kepada Space.com, 24 September 2007, bahwa Shukor diperbolehkan untuk mengundur puasanya hingga kembali ke bumi.
Untuk soal shalat, Dewan Fatwa Nasional Malaysia juga berkata bahwa durasi 24 jam-nya harus disesuaikan dengan zona waktu lokasi diluncurkannya astronot.
Baca Juga : Studi Pada Astronaut Kembar Ini Ungkap Dampak Perjalanan ke Luar Angkasa
Jika arah Kabah di Mekkah sulit untuk ditentukan, astronot bisa menggunakan gambar Kabah atau bumi sebagai kiblat. Lalu untuk wudhu, astronot bisa menggunakan tisu atau handuk basah yang disediakan di ISS.
“Bentuk postur tubuh (seperti berdiri, membungkuk, dan berlutut) disesuaikan dengan kondisi di ISS,” tulis Dewan Fatwa Nasional Malaysia.
Jika astronot tidak bisa berdiri tegak, astronot bisa mencoba untuk berdiri dengan postur apa pun. Bila masih kesulitan, astronot boleh duduk dan membungkuk dengan mendekatkan dagu ke lutut atau tempat berlutut.
Namun, jika astronot benar-benar tidak bisa mengubah posturnya sama sekali, Dewan Fatwa Nasional menyarankan untuk menggunakan kelopak mata sebagai indikator perubahan postur selama shalat atau bahkan sekadar membayangkan urutan shalat.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR