Nationalgeographic.co.id - Memecahkan masalah lingkungan biasanya hanya berujung pada usaha membersihkan kekacauan yang telah dibuat orang. Tetapi para ilmuwan semakin tertarik untuk menciptakan sesuatu yang berharga dari polusi.
“Sampah satu orang adalah harta orang lain,” kata mereka, dan para peneliti kini telah menunjukkan beberapa cara agar produk yang berguna dapat berasal dari limbah di industri dan pertanian sehingga bisa digunakan juga untuk memulihkan tanah, air, dan udara yang terkontaminasi.
Baca Juga: Lima Negara yang Mampu Bertahan dari Perubahan Iklim, Apa Rahasianya?
Satu masalah lingkungan yang mendesak untuk diselesaikan adalah masalah emisi gas karbon dioksida yang menyebabkan perubahan iklim. Peneliti sedang mengembangkan proses yang dapat menangkap karbon dioksida dan mengubahnya menjadi bahan kimia bermanfaat, seperti metanol–yang dapat digunakan sebagai sel bahan bakar–atau urea, yang dapat digunakan sebagai pelarut pada industri kimia, pada pupuk nitrogen, dan pada asam laktat;yang dapat digunakan sebagai pengawet makanan.
Karbon dioksida juga dapat ditangkap dan digunakan untuk menumbuhkan alga, yang kemudian dapat dipanen untuk biofuel.
Air limbah–yang mengalir dari rumah, kantor, dan tempat lain–mengandung racun dan polutan organik yang dihilangkan oleh fasilitas pengolahan mengalir ke sungai dan laut. Namun, para peneliti mencoba untuk memulihkan dan mengubah bahan organik ini menjadi sesuatu yang bermanfaat. Fosfor dan nitrogen adalah nutrisi tanah penting yang ditemukan dalam air limbah yang dapat digunakan kembali oleh lahan pertanian sebagai pupuk.
Para peneliti juga telah “mengajarkan” mikroorganisme untuk memecah zat organik beracun yang ditemukan dalam air limbah sehingga dapat menghasilkan listrik. Selain membersihkan air, sel bahan bakar mikroba akan mengubah fasilitas pengolahan air limbah menjadi baterai raksasa untuk energi hijau karena bakteri yang aktif secara elektrokimia mengurangi kandungan zat organik dan melepaskan elektron untuk menghasilkan arus listrik.
Tanah yang terkontaminasi dengan logam berat merupakan masalah yang sangat sulit dipecahkan. Biasanya, satu-satunya solusi adalah dengan menggali tanah yang terkontaminasi dan membuangnya di tempat pembuangan sampah. Meski begitu, racun dalam tanah dapat keluar dan masuk ke penampungan air bawah tanah, yang berpotensi diserap oleh tanaman dan tanaman pangan yang sedang bertumbuh. Metode alternatif lainnya melibatkan kombinasi fitoremediasi atau proses dekontaminasi tanah dengan menggunakan tanaman untuk menyerap logam berat atau polutan lain dan [biorefinery]
Biorefinery berarti menjadikan biomassa–seperti limbah makanan dan sisa tanaman dari pertanian–menjadi komoditas berharga. Fitoremediasi membersihkan polusi lingkungan menggunakan tanaman untuk mengekstraksi logam dari tanah yang terkontaminasi dengan cara yang sama yang dilakukan mawar putih ketika menyerap pewarna makanan merah dari air yang diwarnai dan sehingga kelopaknya bertumbuh menjadi merah.
Baca Juga: Lebih Dari 50% Hutan Mangrove di Indonesia Hilang, Apa Penyebabnya?
Rumput Cina (Pteris vittata) dapat mengumpulkan arsenik selama ia bertumbuh dan dapat digunakan untuk membersihkan daerah yang terkontaminasi arsenik. Hal ini terjadi pada tanah yang mengelilingi bekas tambang di Cornwall dan Devon. Fitoremediasi dapat membantu memulihkan unsur tanah langka dan logam berharga dari tempat paling terpolusi di dunia seperti kota Guiyu di Cina, yang terkontaminasi parah akibat pembuangan limbah listrik.
Dengan memanen tanaman yang mengumpulkan logam beracun dalam sel mereka, logam beracun tersebut dapat dihilangkan dari lingkungan. Biomassa tanaman kemudian dapat diproses untuk menghasilkan energi, bahan bakar atau bahan kimia industri, membuat seluruh proses ini berkelanjutan.
Insinyur lingkungan hidup menggunakan imajinasi mereka untuk membersihkan lingkungan dan mengunakan potensi limbah pada saat yang bersamaan. Seiring dengan meningkatnya kerusakan lingkungan kita, pemikiran yang jauh lebih kreatif akan semakin kita perlukan.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR