Nationalgeographic.co.id— "Para tawanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus,” tulis Ida Laura Reyer Pfeiffer dalam catatan perjalaannya di Sumatra. “Darah mereka diawetkan untuk minum, dan kadang dibuat menjadi semacam puding yang disajikan dengan nasi.”
Siapapun yang membaca kisahnya, barangkali bakal ngilu. Namun, kisah itu belumlah selesai. “Bagian tubuh kemudian dibagikan,” Ida melanjutkan kisahnya, "Telinga, hidung, dan telapak kaki adalah bagian milik Rajah, yang juga memiliki klaim atas bagian lain. Telapak tangan, telapak kaki, daging kepala, jantung, dan hati—yang semuanya adalah hidangan aneh—dan semua daging dipanggang dan disantap dengan garam.”
Ida tidak menyaksikan kengerian itu dengan mata kepalanya. Dia mendapat informasi tersebut dari beberapa pejabat pribumi setingkat bupati di Muara-Sipongie—kini bagian dari Kabupaten Mandailing-Natal, Provinsi Sumatra Utara. Para pejabat pribumi itu juga meyakinkan Ida bahwa para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam utama.
Kisah tentang Ida Pfeiffer ini merupakan cuplikan dari A Lady's Second Journey Round the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, Etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States, Volume 1. Buku tersebut merupakan catatan perjalanan Ida yang terbit di London pada 1855.
Ida Pfeiffer (14 Oktober 1779—27 Oktober 1858) merupakan pelancong perempuan bergaya tomboi. Dia mulai melancong pada 1836. Pada 1852-1853 dia mengunjungi sejumlah kawasan di Hindia Belanda: Kalimantan, Sumatra, Jawa, Sulawesi, hingga Kepulauan Maluku.
“Darah mereka diawetkan untuk minum, dan kadang dibuat menjadi puding yang disajikan dengan nasi.”
Berdasarkan kisah dari warga setempat itu dia ingin berkunjung ke dataran tinggi dan berharap dapat menemui kanibal liar dari Batak. Bagi bangsa Eropa saat itu, orang-orang Batak memang belum banyak dikenal. Atas alasan itulah Ida sangat bernafsu bertemu dengan mereka.
Ketika Ida berada di Padang, rencana perjalanan ke tempat-tempat tersebut sempat dicegah oleh warga setempat. Mereka bercerita kepada Ida tentang dua misionaris asal Amerika, Henry Lyman dan Samuel Munson, diduga telah dibunuh dan disantap oleh orang Batak pada 1835.
Baca juga: Kenali Perempuan Eropa Pertama yang Melancongi Hindia Belanda
Ida bersama seorang pemandunya menunggang kuda selama perjalanan di pedalaman Sumatra. Perjalanan di pulau ini dibagi beberapa tahapan atau rute militer. Setiap 12 hingga 20 kilometer terdapat benteng atau bangunan kecil tempat kantor pemerintah, sekaligus tempat bermalam para pelancong seperti Ida.
Pada pertengahan Agustus 1852, keduanya menuruni bukit di Silindong, dekat Danau Toba. Namun, sebelum menuju lembah, pemandunya menyarankan supaya Ida untuk tak menjauh darinya. Mereka menyaksikan prosesi yang dilakukan enam lelaki bersenjata tombak. Ketika kedua orang itu mendekat, mereka justru disambut dengan tombak dan parang. Setelah si pemandu menjelaskan, Ida boleh melewati kawasan itu.
“Di suatu tempat, kejadiaannya bahkan lebih serius,” demikian Ida berkisah. “Lebih dari 80 lelaki berdiri di jalanan setapak dan menghalangi perjalanan kami.” Kemudian dia melanjutkan, “Sebelum saya menyadarinya, sekawanan lelaki telah melingkari saya seraya menodongkan tombak mereka, dengan tatapan ngeri dan liar.”
Ida melukiskan sosok lelaki Batak yang mengepungnya. Mereka berbadan tegap dan kuat, tingginya hampir dua meter, penampilannya beringas dan militan. “Mulut lebar mereka dengan geligi yang menonjol, tampaknya lebih mirip dengan binatang buas ketimbang manusia manapun.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR