Nationalgeographic.co.id - Kota-kota seperti New Delhi di India, Jakarta di Indonesia, Accra di Ghana, Kathmandu di Nepal, dan kota-kota lainnya harus bergulat dengan pencemaran udara yang berasal dari knalpot kendaraan dan pembakaran sampah.
Untuk pencemaran udara, perhatian serius yang perlu diberikan kepada konsentrasi partikulat, atau dikenal sebagai PM, yaitu sejenis partikel yang ukurannya jauh lebih kecil dari rambut manusia.
Partikel-partikel ini biasanya diproduksi ketika bahan kimia hasil dari pembakaran bahan bakar bereaksi di atmosfer. Sesudah terbentuk, angin dapat mengangkut partikel berbahaya ini ke tempat dengan jarak yang jauh.
Baca Juga: Polusi Sampah, Foto Ini Tunjukkan Induk Burung Beri Makan Anaknya Puntung Rokok
Paparan dari partikulat ini menyebabkan hampir enam juta kematian prematur setiap tahunnya. Sebagian besar kematian ini terjadi ketika paparan PM berujung pada serangan jantung, stroke, atau penyakit paru-paru. Namun banyak orang belum menyadari bahwa polusi udara merupakan penyebab utama. Akibatnya, banyak orang memandang polusi udara sebatas masalah kualitas hidup, bukan sebagai masalah kesehatan global.
Kami pun mempelajari bagaimana polusi udara mempengaruhi kesehatan masyarakat yang dilakukan di laboratorium saya, di Peltier Aerosol Lab, University of Massachusetts Amherst, Amerika Serikat. Penelitian ini berlangsung sejak tahun 2013 hingga 2017, namun kami masih tetap melakukan riset lanjutan terkait dengan penggunaan masker dan isu pencemaran udara lainnya.
Kami menganalisis seberapa efektifnya beberapa jenis masker wajah untuk melindungi pengguna dari tingkat bahaya PM.
Berdasarkan hasil penelitian kami, tidak ada masker yang 100% efektif dan masker kain murah yang banyak digunakan banyak di negara berkembang sangat sedikit memberikan perlindungan. Lebih lanjut, penemuan ini juga menyoroti perlunya mengurangi polusi udara dan menyiapkan strategi perlindungan yang lebih baik dengan mendidik masyarakat tentang cara-cara menghindari paparan polusi udara.
Menurut Badan Kesehatan Dunia, 98% kota di negara-negara berkembang dan 56% negara maju tidak memenuhi standar kualitas udara yang telah ditetapkan organisasi internasional tersebut.
Level PM per jam dari kota New Delhi dapat melonjak setinggi 350 mikrogram per meter kubik saat kualitas udara memburuk. Bandingkan dengan kualitas udara di Houston di Amerika Serikat saat hari kerja padat yang hanya mencapai angka tertinggi, sekitar 20 mikrogram per meter kubik.
Kami menempelkan setiap masker ke kepala berbusa yang ditempatkan di ruang tertutup. Kemudian, kami mengisi ruangan dengan PM dan mengukur perbedaan antara konsentrasi partikulat dalam ruangan dengan yang berhasil menembus masing-masing masker.Untuk studi ini, kami membandingkan enam jenis masker wajah yang terbuat dari beberapa bahan, termasuk kain, kertas, dan polipropilena (polimer termo-plastik yang biasa digunakan pada industri kimia) dan mengukur seberapa efektif bahan tersebut melindungi pemakainya.
Dalam penelitian, kami memberikan perhatian kepada masker kain murah yang banyak digunakan di negara berkembang. Masker-masker tersebut berupa potongan-potongan kain yang melar, dikenakan di atas mulut dan hidung, serta disematkan oleh kain di telinga. Masker ini dapat dibeli dengan harga kurang dari satu dolar (Rp14 ribu), cukup terjangkau untuk penduduk kota berpenghasilan rendah. Masker ini dapat dicuci dan digunakan kembali berkali-kali.
Dalam pengujian kami, masker wajah yang sering dipakai di negara berkembang memiliki kinerja yang paling buruk. Tipe ini hanya sanggup menghentikan 15% hingga 57% partikulat dari udara sebelum akhirnya menembus masker.
Artinya, saat hari yang padat polusi di New Delhi, sebanyak 85% PM dapat melewati masker dan mencapai paru-paru pemakai, atau sekitar 300 mikrogram per meter kubik PM. Angka ini sepuluh kali lebih tinggi dari standar yang ditetapkan oleh WHO untuk PM.
Sebagai perbandingan, kami menguji juga masker wajah bersertifikat N95 yang terbuat dari polipropilena, kain sintetis bukan tenunan.
Masker jenis ini berhasil menghilangkan 95% partikulat. Standar untuk masker bersertifikat N95 memang dirancang untuk memberikan perlindungan yang memadai bagi pekerja yang beriisko terkena paparan PM, seperti pertambangan, permesinan, dan pekerjaan berbahaya lainnya.
Masker lain, termasuk kain dan versi selulosa dengan lipatan, menunjukkan hasil hampir sama seperti masker N95.
Namun, dari semua masker yang kami uji–termasuk masker N95–tidak ada yang terbukti efektif menyaring campuran udara dan gas buang kendaraan yang biasa dihadapi oleh masyarakat perkotaan.
Secara umum, semua masker yang kami uji cukup baik untuk perlindungan dari partikel berukuran besar. Namun, masker yang paling murah memberikan perlindungan terbatas bagi ancaman debu sangat halus. Tidak ada masker yang bisa memberikan perlindungan 100%.Meskipun penelitian kami berfokus pada PM, penting untuk dicatat bahwa polusi udara melibatkan campuran bahan kimia dan sumber yang berbeda, serta partikel mikroskopis dari berbagai ukuran yang dapat berubah seiring waktu.
Peraturan yang ada mungkin bisa memastikan masker digunakan dengan benar, namun karakter penduduk perkotaan yang selalu sibuk tidak akan memperhatikan detail, seperti menyesuaikan ukuran masker dengan wajah mereka.
Pada kota-kota yang sangat tercemar, partikulat seringkali jauh lebih kecil daripada partikel 300-nanometer yang digunakan di laboratorium kami, terutama di dekat sumber pembakaran seperti mobil dan truk atau api terbuka.
Semakin kecil partikel, semakin sulit untuk disaring. Bahkan, masker N95 tidak dirancang untuk sumber polusi udara perkotaan yang tradisional. Ini berarti jika pengguna di negara berkembang menggunakan masker N95 yang cukup mahal, sebagian kecil dari partikulat berbahaya tetap masih akan mencapai paru-paru mereka.
Beberapa inovator telah merancang masker kain yang lebih baik dan mirip dengan masker bersertifikat N95. Desain baru ini memenuhi standar N95, namun masih belum jelas seberapa efektif bagi pengemudi taksi di Karachi, India atau penjaga toko di Ho Chi Minh, Vietnam.
Bagi sebagian besar negara berkembang, produk-produk ini tidak terjangkau. Sehingga sebagian besar masyarakat cenderung menggunakan masker kain murah.
Baca Juga: Peneliti Ungkap Kemasan Plastik Masih Dibutuhkan, Apa Alasannya?
Apakah mungkin merancang masker murah yang dapat memberikan perlindungan lebih baik? Mungkin.
Namun, sebelum hal itu terjadi, kita tidak bisa membiarkan para pengguna masker murah berasumsi bahwa mereka akan sepenuhnya terlindungi dari polusi udara. Meski demikian, sejumlah masker ini dapat memberikan sedikit perlindungan. Ini lebih baik daripada tidak sama sekali.
Lebih lanjut, masyarakat juga perlu membuat pilihan tentang lingkungan mereka, misalnya perlukah merokok, keputusan untuk tinggal di mana, hingga apakah perlu terjebak dalam kemacetan. Sementara, untuk jangka panjang, kita juga tetap mencari solusi mengurangi polusi udara dari sumbernya.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR