Nationalgeographic.co.id - Gambar terbaru menunjukkan seekor gajah berusia 70 tahun yang sangat kurus dan kekurangan gizi. Bahkan, tulang rusuknya pun terlihat dengan jelas.
Meski kondisinya sangat menyedihkan, tapi gajah di Sri Lanka bernama Tikiiri ini tetap harus bekerja bersama 60 ekor gajah lainnya di Festival Perahera.
Dilansir dari Daily Mirror Rabu (14/8/2019), dia dipaksa untuk berparade dalam festival Buddha berdurasi 10 hari bersama penampil seperti penari hingga peniup api.
Baca Juga: Fakta Unik Komodo, Kanibal Hingga Suka Mencuri Bangkai di Pemakaman
Gambar yang yang membuat miris itu diunggah oleh organisasi Save Elephant Foundation untuk menandai Hari Gajah Dunia yang jatuh pada Senin kemarin (12/8/2019).
Organisasi itu menyatakan, Tikiiri bergabung dalam parade setiap sore hingga malam 10 hari beruntun di tengah bisingnya suara kembang api dan keriuhan penonton.
"Dia akan berjalan selama beberapa kilometer sehingga setiap orang yang berbaris di jalan bakal mendapat berkat selama upacara," ujar Save Elephant.
Yayasan melanjutkan, orang-orang tidak melihat betapa kurus dan rapuh Tikiiri karena kostum yang dia pakai di usianya yang sudah sangat lanjut.
"Tidak ada yang melihat air matanya, dia terluka oleh cahaya terang yang menghiasi topengnya, dan kesulitan melangkah ketika kakinya dibelenggu," ujar Save Elephant.
Baca Juga: Banjir Menyerang Taman Nasional India, Lebih Dari 200 Satwa Liar Mati
Tikiiri disebut bekerja bagi kuil Tooth di kota Kandy, dan menyerukan publik untuk meminta kepada Perdana Menteri Sri Lanka untuk "mencegah kekejaman ini".
World Animal Protection menyebut ada 3.000 ekor gajah yang dipakai untuk kepentingan hiburan seantero Asia, dengan 77 persen di antaranya diperlakukan kejam. Juru bicara Kuil Tooth kepada Metro kemudian menanggapi dengan mengatakan mereka selalu "memperhatikan dan menyayangi" binatang selama berlangsungnya festival.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Gajah Kurus di Sri Lanka Ini Dipaksa Berparade di Festival Kostum". Penulis: Ardi Priyatno Utomo.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR