Nationalgeographic.co.id – Kebakaran hutan merupakan masalah serius yang saat ini sejak banyak terjadi. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau dan Kalimantan menarik perhatian dari berbagai pihak.
Akibat adanya kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia beberapa wilayah juga ikut merasakan imbasnya, daerah tersebut seperti Jambi, Palembang, Banjarmasin, Palangkaraya, hingga Malaysia juga ikut merasakan dampak adanya bencana ini. Kabut asap pekat yang terjadi karena kebakaran hutan memberikan dampak yang buruk terhadap kesehatan seseorang menghirupnya.
Menurut data Badan Penanggulangan Bencana dan Kementerian Kesehatan yang diolah Litbang Kompas akibat adanya bencana ini jumlah penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) meningkat. Sejak Maret hingga September 2019 tercatat 52.635 orang terserang ISPA akibat karhutla.
Tebalnya kabut asap ini juga menyebabkan jarak pandang yang pendek sehingga membuat jalur transportasi udara terganggu. Dilansir dari Kompas.com ada lebih dari 80 jadwal penerbangan dibatalkan akibat hal tersebut.
Bencana kabut asap akibat karhutla terjadi hampir setiap tahun. Hal ini diungkapkan oleh Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Wahyu A. Pradana. Menurutnya sejak 2018 sampai awal September 2019 ada sekitar 19.000 titik panas di Indonesia.
Wahyu juga mengungkapkan bahwa karhutla di Indonesia berbeda dengan di Amazon.
“Ada perbedaan mendasar antara kebakaran hutan Amazon dengan kebakaran hutan di tanah gambut,” ungkapnya kepada Kompas.com.
Kebakaran hutan yang terjadi di tanah gambut, menurutnya belum bisa reda hanya dengan menghilangkan asap di udara. Pasalnya, jauh di bawah tanah, di kedalaman 20 meter lebih di bawah tanah masih ada bara-bara api yang menyala dan merambat cukup jauh. Adanya hal ini membuat kebakaran di tanah gambut lebih cepat terulang dan terjadi kembali. Sedangkan kebakaran di hutan Amazon terjadi di atas tanah jadi ketika api dipadamkan di atas tanah maka api sudah benar-benar padam.
“Gambut ini analoginya seperti kapas kapuk. Ketika terbakar, tidak hanya di permukaan, tapi merambat ke bawahnya,” paparnya.
Ia menambahkan bahwa penyiraman di satu titik tidak akan cukup untuk memadamkan api yang menyebar di tanah gambut. Hal itu menjelaskan bahwa kebakaran hutan yang terjadi di tanah gambut dan tanah mineral jelas berbeda. Jangka waktu untuk menghentikan kebakaran ini juga berbeda, di tanha gambut akan menghabiskan waktu lebih lama untuk menghentikannya daripada di tanah mineral.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Silvia Triyanti Luis |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR