Nationalgeographic.co.id - Penonton terbahak-bahak menyaksikan adegan drama Teater Koma. Pentas drama itu bukan di gedung pertunjukan, melainkan di Museum Nasional atau Museum Gajah. Ya, pentas Teater Koma itu adalah upaya museum untuk mengedukasi publik tentang ragam koleksinya melalui narasi atau storytelling. Medianya, pentas Teater Koma yang menyajikan cerita di balik koleksi museum.
Cara kreatif itu membuat masyarakat bisa menikmati koleksi museum beserta sejarah di baliknya tanpa rasa bosan. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam hal ini Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (PCBM), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Baca Juga: 4 Museum Unik dengan Nama Maestro Seni Rupa Indonesia
Fitra Arda, Direktur PCBM, menyatakan, “Museum tidak saja sebagai ruang tempat melestarikan kebudayaan dan edukasi tetapi sekaligus juga sebagai ruang rekreasi yang menyenangkan atau edutaiment.”
Ia juga menjelaskan pentingnya museum bagi bangsa, terutama dalam upaya pelestarian dan pemajuan kebudayaan, terlebih dengan lahirnya Undang-undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Peran museum bisa sebagai pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan Kebudayaan.
“Apalagi Indonesia adalah negeri majemuk, yang dibentuk oleh perjalanan sejarah yang panjang. Keragaman adalah kenyataan bagi masyarakat yang hidup di belasan ribu pulau, terdiri atas lebih dari seribu kelompok etnik, yang berbicara dalam ratusan bahasa. Semua itu, buktinya bisa kita temukan di dalam museum,” lanjutnya lagi.
Museum diharapkan hadir sebagai pilar atau ujung tombak dalam merawat kebinekaan Indonesia. Museum adalah rumah peradaban, tempat tumbuh dan berkembangnya kemampuan berpikir serta kreatifitas masyarakat.
Museum juga berfungsi sebagai pendorong tumbuhnya rasa bangga dan cinta tanah air atau nasionalisme, serta menjadi objek wisata yang mengedepankan unsur pendidikan dan pelestarian warisan budaya. Tak kalah penting, adalah menjadi pusat informasi dan dokumentasi warisan budaya bangsa.
Karena pentingnya peran museum, maka para tokoh museum, pengelola, dan pegiat museum berkumpul dan berpikir bersama untuk kemajuan museum Indonesia. Musyawarah Museum Pertama diadakan di Yogyakarta pada tanggal 12-14 Oktober 1962.
Hari pertama musyawarah itu, 12 Oktober, kemudian ditetapkan sebagai Hari Museum Indonesia. Dari sana lahir landasan kerja dalam bentuk konsep, kebijakan, dan strategi pengembangan museum di Indonesia. Berbeda dengan Hari Museum Internasional yang jatuh pada setiap tanggal 18 Mei.
Sebelumnya, sederet ide muncul untuk menjadikan Hari Museum. Salah satunya, usulan tanggal berdirinya perkumpulan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) yaitu perkumpulan masyarakat seni dan sains di Batavia—kini Museum Nasional. Ada juga yang menyarankan tanggal berdirinya Museum Radya Pustaka di Solo, dan beberapa usulan tanggal lain.
Belakangan ini bermunculan museum-museum baru yang menambah keragaman tema. Ada museum sejarah alam, etnografi dan arkeologi, sejarah perjuangan, rumah bersejarah, seni, industri, maritim, religi, dan perbankan. Kita berharap tema itu akan berkembang lagi.
Baca Juga: Lima Fakta Tentang Memek, Kuliner Aceh yang Jadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia
Pemerintah memfokuskan pada pengembangan sumber daya manusia (SDM). Hal ini sejalan dengan prioritas Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, yang menekankan bahwa SDM adalah kunci utama kesuksesan museum. SDM yang andal tentu dapat mengeluarkan ide-ide kreatifnya untuk menciptakan program yang menarik, sehingga museum lebih bisa dinikmati warga.
“Kami akan memberikan berbagai pelatihan untuk tenaga teknis museum, antara lain kurator, konservator, edukator, registrar, penata pameran, serta tenaga humas dan pemasaran,” rinci Fitra Arda. Ia menyatakan akan ada penguatan lainnya seperti penataan fisik museum, tata kelola, jejaring, program, kebijakan, dan pencitraan. “Keenam aspek tersebut merupakan aspek revitalisasi museum,” pungkasnya.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR