Nationalgeographic.co.id— Masih ingatkah kita pada kasus seorang pemuda asal Bandung yang merisak waria? Pemuda itu memberi bingkisan sembako kepada seorang waria, namun bingkisan itu sengaja diisi sampah dan batu. Atas perbuatannya, kini ia mendekam di penjara.
Tampaknya kasus perisakan semacam itu bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Mengapa masyarakat memiliki stigma buruk terhadap waria? Bukankah mereka juga manusia? Mengapa sosok minoritas dan berbeda selalu menjadi sasaran perisakan?
Kasus perisakan terhadap waria juga pernah dilakukan seorang pemuda bernama Rikky Muhammad Fajar, kini berusia 35 tahun.
“Ada teman saya yang mungkin feminim dan saya sempat ikut nge-bully juga. Ia teman saya waktu SD sampai SMA. Waktu itu tahun 90-an,” kenang Rikky. Setiap hari teman lelaki itu selalu mengalami perisakan. Sejak masa orientasi sekolah, hinaan tak pernah berhenti. Dari ujaran yang melecehkan sampai perlakuan kasar secara fisik. “Dikejar-kejar sekelompok siswa, pas ketangkap kadang ditabokin, diseret-seret, disiram air dan pernah dibenturkan kepalanya ke tembok,” ujarnya.
Guru olahraga dan agama pun merisak temannya itu. Guru olahraga pernah meminta murid lain melakukan smash bola voli ke tubuh temannya itu. Alasannya, dia tak pandai berolahraga. Sementara itu guru mata pelajaran agama justru menyebut temannya itu harus dibakar.
Baca Juga: Genderqueer, Ketika Seseorang Tidak Merasa Sebagai Pria Ataupun Wanita
Rikky menceritakan ketika teman itu jatuh dari tangga di sekolah gara-gara dikejar-kejar siswa lain. “Tangannya berdarah-darah, sampai saat mengerjakan ujian di kelas lembar-lembar soalnya ikut terkena darah,” ungkapnya. “Mengharukan sekali.”
Rikky merasa iba. Situasi itu menjadi titik balik pemahamannya tentang waria. Awalnya suka merisak, kini dia memiliki empati. Dia berpikir bahwa teman lelakinya itu sama seperti manusia lainnya.
“Mereka jadi sulit untuk berkarya karena mereka adalah korban dari sistem seperti yang dialami teman saya itu,” ungkap Rikky. Masyarakat telanjur memiliki stigma buruk kepada waria. Empati itulah yang kini membuat Rikky sibuk di era pandemi untuk membantu kehidupan komunitas waria di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Setidaknya terdapat 70 waria yang tinggal di sekitar Pasar Duri. Mereka menerima bantuan rutin berupa sembako dan uang tunai melalui organisasi Sanggar Teater Seroja. Rikky menjadi pengelola sanggar itu.
Selama tiga bulan beakangan ini komunitas waria di kawasan Pasar Duri berkurang pemasukannya. Bahkan, sebagian dari mereka a tidak mendapat pemasukan sama sekali karena pemerlakuan pembatasan sosial oleh pemerintah kota. Profesi mereka berbagai macam, dari make up artist, usaha salon kecantikan, sampai pengamen.
“Semenjak kayak gini jarang ngamen,” kata Adel, 25 tahun, salah seorang waria yang menerima bantuan sembako. Dalam kondisi normal ia dapat mengumpulkan uang paling sedikit Rp100.000 perhari. Namun, penghasilan pada masa pandemi jauh berbeda. “Ya dapat Rp50.000 juga alhamdulillah cukup buat makan.”
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR