Nationalgeographic.co.id - Bayangkan saat kita menjinjing kantong plastik berisi belanjaan dari minimarket. Berapa usia kerja kantong plastik? Mungkin hanya 15 menit, lalu kita mencampakkannya.
Kita tengok sejenak perjalanan umat manusia bersama plastik. Sekitar 150 tahun silam, manusia menciptakan plastik sebagai materi yang ringan, kuat, dan murah. Bahkan, terobosan ini membantu jantung berdenyut dan pesawat melesat di udara.
Namun ada perkara yang mendesak dan perlu diwaspadai. Berdasarkan statistik dari Our World in Data, produksi tahunan plastik di dunia meningkat hampir 200 kali lipat sejak 1950. Pada 1950, diketahui dunia hanya memproduksi dua juta ton plastik per tahunnya. Namun sejak, saat itu, produksi meningkat drastis.
Sayangnya, dari banyaknya plastik, hanya sekitar 20% yang didaur ulang. Pada akhirnya, sekitar delapan juta ton berakhir di lautan setiap tahunnya.
Plastik, seperti yang kita tahu, dapat bertahan lama di Bumi hingga 60-70 tahun. Dan plastik yang dibuat pada masa awal pun, kemungkinan masih ada hingga saat ini.
Studi terbaru dari University of Leeds yang dipublikasikan pada jurnal Science, mengungkapkan, jika terjadi peningkatan konsumsi plastik atau tidak ada perubahan signifikan pada aksi daur ulang, maka diperkirakan Bumi akan memiliki 1.3 miliar ton sampah plastik pada 2040.
Dan World Economic Forum (WEF) bahkan memprediksi bahwa pada 2050, jumlah plastik di lautan akan lebih banyak dibanding ikan.
Plastik yang ada di laut bisa berasal dari daratan maupun perairan. Polusi plastik dari perairan mengacu kepada sampah sisa-sisa alat penangkap ikan seperti jaring, tali, dan bangkai kapal. Sementara yang dari daratan berasal dari kehidupan modern manusia, di mana plastik kerap digunakan sebagai 'barang sekali pakai' seperti botol, gelas, dan alat makan plastik, serta pembersih telinga.
Sampah-sampah ini akan sangat berbahaya bagi hewan laut karena mereka akan mengira plastik sebagai makanannya dan akhirnya mengonsumsinya. Penyu misalnya, mereka tidak dapat membedakan kantung plastik dengan ubur-ubur, sehingga kerap mengonsumsinya tanpa sengaja. Saat sampah plastik masuk ke pencernaan hewan laut, itu dapat menyebabkan penyumbatan dan akhirnya kematian.
Belum lama ini, sekelompok peneliti juga telah menemukan bukti bahwa mikroplastik–potongan, fragmen, dan serat plastik–ternyata terakumulasi pada kotoran manusia. Artinya, setelah hewan laut memakan sampah plastik, manusia kemudian dapat ikut menelannya melalui tuna, udang, atau lobster, yang dikonsumsi.
Murah dan mudahnya produksi plastik telah mempopulerkan penggunaan plastik. Kurangnya kesadaran kita tentang penggunaan dan pengolahan limbahnya telah berdampak buruk pada lingkungan.
Inilah tragedi plastik. Kita telah menciptakannya. Kita begitu bergantung padanya. Namun, ada sesuatu yang bisa kita lakukan di situasi ini untuk bersama- sama menyelamatkan Bumi.
Tiba saatnya manusia menjadi penentu masa depan Planet ini. National Geographic Indonesia melalui #SayapilihBumi dan dukungan PT Unilever Indonesia Tbk @unileveridn berinisiatif untuk menggelar webinar tentang permasalahan dan solusi sampah plastik di Indonesia. Program ini mempertemukan berbagai pihak mulai dari industri, lembaga penelitian, media hingga teman-teman pegiat lingkungan.
Simak perbincangan kami dalam program #BerbagiCerita daring via ZOOM, bertajuk Semangat Kolaborasi Menuju Kehidupan Lestari, pada Rabu 19 Agustus 2020, pukul 10.00-12.00 WIB.
Bagian pertama, “Studi Terkini Mengenai Pengelolaan Sampah: Pentingnya Revolusi Melalui Kolaborasi”. Bagian Kedua, “Mendorong Peranan Bank Sampah Melalui Revolusi Digital.
Silakan mendaftar melalui pranala bit.ly/berbagiceritaunilever. Mari berbincang bersama dan berkolaborasi untuk mencari solusi bagaimana kita bisa mengubah perilaku kita terhadap permasalahan sampah plastik di Indonesia.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR