Ketiga, Situs Perang Dunia Kedua juga menjadi bagian dari pola perjalanan kawasan ini. Di Distrik War, sekitar 30 menit dari pusat Kota Sausapor, terdapat situs peninggalan panser-panser baja armada Sekutu yang terdampar dan terjebak mati di lebatnya hutan Papua Barat. Masih terserak botol-botol bekas peninggalan tentara-tentara asing ini. Situasinya, seolah membawa kami ke zaman perang. Tampaknya armada Sekutu tak hanya bertarung dengan armada Jepang, tetapi juga bersiasat tempur dengan alam Papua yang luar biasa lebat. Landasan pacu peninggalan MacArthur pun masih bisa kita saksikan di kawasan ini.
Keempat, pemantauan burung. Sebuah potensi luar biasa bagi kabupaten yang sekelilingnya penuh dengan hutan tebal dengan kontur bukit berlapis-lapis terhampar hingga pesisir. Potensi wisata bahari, alam, dan budaya menjadi harta karun. Bak intan masih berbalur lumpur, perlu upaya kita semua untuk memunculkan kemilaunya.
Baca Juga: Di Antara Perairan Surgawi Papua, Leluhur Nusantara Membuat Coretan Unik Tentang Perjalanan Manusia
Kami ditarik masuk lebih dalam ke hutan. Di Desa Klabili, sekitar 70 km dari kota Sausapor, kami menjelajahi hutan tropis Papua. Ada beberapa taman burung bentukan pemuda-pemuda setempat yang baru saja dibangun.
Cendrawasih, dan banyak lagi unggas endemik Tanah Papua menghuni kawasan hutan ini. Berjalan kaki mengendap-endap di kegelapan malam menjadi satu keseruan bagi para penikmat pemantauan burung. Bersama suara pusparagam Papua, kami melintasi jalur setapak buatan para pemandu menuju titik-titik pemantauan yang kelak akan menjadi penarik para pejalan minat khusus.
Kami melihat dan merasakan betul betapa luar biasanya potensi pariwisata baru di Tambrauw. Betul, ada banyak hal yang perlu kembali disusun dan dibangun untuk bisa menerima para pejalan. Kami percaya, pada masa pagebluk sekarang, inilah saatnya Tambrauw punya kemewahan waktu untuk berbenah. Tambrauw bersiap, sampai nanti waktu tiba pariwisata kita akan kembali menggeliat.
Anak-anak muda nan gagah berseragam pemandu wisata membutuhkan kita. Mereka membutuhkan kecakapan untuk menambah kemampuan memandu, kemampuan bercerita, dan kepercayaan diri untuk bersuara lantang tentang potensi wisata rumah mereka. Berbekal pesan para leluhur, mereka percaya, hutan harus sehat karena berkat hutanlah mereka bisa hidup dan terus menjaga Tanah Papua.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR