"Tanda Peringatan Brandweer Batavia 1919 – 1929"
Di dalam masa jang soeda soeda
Bahaja api djarang tertjega
Habis terbakar langgar dan roema
Tidak memilih tinggi dan renda
Sepoeloeh tahoen sampai sekarang
Semendjak brandweer datang menentang
Bahaja api moedah terlarang
Mendjadikan kita berhati girang
Tanda girang dan terima kassi
Kami semoea orang Betawi
Menghoendjoekan pada hari jang ini
Tanda peringetan boekan seperti
Betawi, 1 Maart 1929
Nationalgeographic.co.id—Tiga bait puisi yang terukir dalam sebuah plakat itu kini tersimpan di Kantor Pemadam Kebakadan dan Penanggulangan Bencana Provinsi DKI Jakarta. Plakat tersebut dibuat ketika Brandweer Batavia merayakan ulang tahunnya yang kesepuluh pada 1929. Prasasti menunjukkan bahwa pemadam kebakaran kota telah terbentuk secara resmi pada 1 Maret 1919.
Sejatinya soal kebakaran ini telah menjadi perhatian Residen Batavia sejak 1873. Pemerintah kota telah mengumumkan adanya peraturan tentang Dinas Pemadam Kebakaran untuk Kota Batavia dan sekitarnya.
Namun demikian, kebakaran dahsyat yang menghanguskan Kampung Kwitang, Jakarta Pusat pada 1913 telah membuktikan tak mampunya Batavia dalam hal penanggulangan bencana kebakaran. Beberapa kebijakan pun bergulir, salah satunya tentang pembagian urusan pemadam kebakaran, tim pemadam kebakaran sipil dan militer.
Pada akhirnya Residen Batavia melakukan reorganisasi tim pemadam kebakaran dan mendirikan Kantor Brandweer Batavia di kawasan Gambir, Jalan Ketapang Nomor 71—kini Jalan K.H. Zainul Arifin.
Batavia telah menjelma menjadi Jakarta, metropolitan dengan permukiman yang padat. Kini, setiap hari setidaknya dua hingga tiga kebakaran menghanguskan sudut-sudutnya. Dari data resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunjukkan bahwa jumlah hidran di Jakarta sangat jauh dari memadai. Pada 2011, National Geographic Indonesia mencatat 1.424 unit hidran. Sementara pada 2020 jumlah itu menyusut menjadi 1.347 unit. Idealnya kota ini memiliki 20.000 unit hidran.
Dari jumlah hidran yang ada hampir separuhnya rusak. Bahkan dari hidran yang masih berkondisi baik, petugas pemadam tak bisa menjamin kelancaran airnya.
Kepanikan warga ketika kebakaran memang bisa dimaklumi para petugas. Namun kadang warga yang panik tersebut mengganggu usaha pemadaman dengan cara merebut selang dari tangan petugas. Kadang terjadi pertikaian antarwarga sendiri karena saling berebutan selang. Mereka yang berebut adalah warga yang rumahnya belum terbakar. Akibatnya selang dengan tekanan delapan bar terlepas dan meliuk-liuk tak terkendali, malah menimbulkan bahaya baru.
Tak hanya itu, kejadian lain yang menguji samudra kesabaran para pemadam adalah seringnya panggilan bencana kebakaran palsu. Masih kerap dijumpai kasus panggilan palsu yang membuat petugas kerepotan. Operator radio di pusat komando kini lebih teliti jika menerima berita panggilan kebakaran yang masuk dari nomor 113. Untuk memperoleh data kejadian kebakaran yang valid, para petugas operator selalu menanyakan dengan detail nama pelapor, nomor telepon yang bisa dihubungi, lokasi kebakaran, dan pokok benda yang terbakar.
Setimpalkah apa yang mereka terima dari perlakuan warga dibanding dengan darma yang telah mereka tunaikan? Jawabnya, petugas tak pernah berpikir tentang balasannya. Mereka hanya menjawab panggilan kemanusiaan untuk menolong. Ketulusan sudah menjadi tekad mereka. Namun masih saja ada warga yang mengira untuk memanggil bantuan petugas pemadam dibutuhkan biaya. Sikap warga tersebut membuat hati sebagian petugas sedih dan mengelus dada.
Akhirnya, di kota ini para petugas pemadam kebakaran kerap mendapat cacian warga—atas alasan terlambat atau sulitnya mendapat pasokan air. Namun, banyak pula warga yang menyanjungnya sebagai pahlawan metropolitan—yang terlupakan oleh hiruk-pikuknya kehidupan.
Wahyudi, seorang petugas pemadam kebakaran DKI Jakarta mengisahkan ketika ia dan pasukannya tengah duduk letih di pinggir jalan usai pemadamaman di daerah dekat Stasiun Tanah Abang. Tiba-tiba seorang perempuan menghampirinya sambil memberikan sebungkus ongol-ongol, jajanan khas betawi. “Seorang gadis cantik memberikan bungkusan sambil mengucapkan terima kasih kepada saya dan berlalu begitu saja,” kenang Wahyudi. “Di tengah cacian warga yang tak puas dengan kinerja pemadam kebakaran, masih ada saja orang yang peduli dengan kami,” ucapnya.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR