Nationalgeographic.co.id - Sejak Jumat malam (05/02), Kota Semarang diguyur hujan hingga mengakibatkan banjir yang menggenang dan melumpuhkan Jalan Raya Pantura. BMKG dalam rilisnya memperkirakan banjir terjadi disebabkan curah hujan yang tinggi akibat pengaruh La Nina dari Pasifik dan Monsun Asia.
Laporan itu disimpulkan dari data Automatic Weather Stations (AWS) Stasiun Klimatologi Semarang dan Citra Satelit Himawari. Mereka melihat bahwa awan konventif sudah bertumbuh pada 6 Februari 2021 dini hari, dan bertambah hingga pagi yang mengakibatkan hujan dengan intensitas lebat.
Namun, menganggap curah hujan tinggi sebagai faktor penyebab banjir bukanlah pernyataan yang tepat. Sejumlah ahli menganggap terdapat faktor lain yang tak bisa disingkirkan.
Faktor itu seperti turunnya permukaan tanah di Kota Semarang akibat pembangunan tak terkendali dan naiknya permukaan laut akibat perubahan iklim.
Baca Juga: 2050: Kerugian akibat Banjir Jakarta Diprediksi Naik Lima Kali Lipat
Irvan Sophian dari Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjajaran meneliti perubahan permukaan tanah di Kota Semarang. Ia menulis, seperti kota pesisir utama lainnya, pembangunan banyak berkembang di daerah muara aliran sungai.
Padahal secara genetik, tanah di kawasan muara sungai berasal dari berbagai materi endapan aluvial. Endapan aluvial merupakan materi hasil erosi dari tanah yang lebih tinggi dan terbawa oleh aliran sungai.
Berdasarkan data geologi hasil penelitian, daerah Semarang terdapat satuan lempung berupa Endapan Marin yakni material utama yang mudah tererosi. Endapan itu juga menjadi material utama pada endapan aluvium daerah Semarang utara.
Dari pengamatan lapangan dan evaluasi, sebaran tanah lunak itu tersebar ke arah timur dan timur laut, dan menipis ke tenggara hingga selatan Semarang. Ketebalan tanah lunak ini berkisar 0-2,5 meter hingga 4 meter dari muka tanah setempat.
Tanah aluvial sangat rawan untuk mengakibatkan kejatuhan tanah (subsidence). Penyebabnya, Irvan menulis, pembangunan yang memiliki beban yang sangat berat, bukaan bawah tanah akibat aktivitas tambang, pemompaan air tanah dan pengambilan gas alam yang berlebihan, serta aktivitas tektonik.
Dalam jurnalnya yang dipublikasikan di Bulletin of Scientific Contribution volume 8 tahun 2010, akibatnya selain tanah menjadi lebih rendah dan mudah terkena banjir pasang, juga dapat merusak bangunan yang berdiri di atas sana.
Mereka menemukan penurunan muka tanah lebih banyak terjadi di daerah Semarang bawah (Semarang utara).
Baca Juga: Riset Ungkap Kenapa Banjir di Indonesia Terjadi Lebih Sering dan Parah
Diperkirakan hingga 2020 tanah yang ambles sedalam 70 hingga 90 centimeter terletak di sekitar Stasiun Poncol dan Stasiun Tawang, dan amblesan hingga 130 cm di sekitar Tanah Mas. Prediksi ini juga menggunakan data pola penurunan tanah sejak 1996.
April 2013, Septriono Hari Nugroho dari LIPI dalam Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi Vol. 4 menulis, pemadatan sedimen di Semarang dipercepat akibat pengambilan air bawah tanah secara berlebihan. Ia menyebut bahwa penurunan tanah di Semarang terjadi kurang lebih 15 cm/tahun.
Septriono juga menganalisa kenaikan permukaan laut sekitar Jawa Tengah dan menyimpulkan terjadi kenaikan sebesar 2,65 mm per tahun, membuat Semarang rawan tenggelam banjir. Ditambah dengan curah hujan yang kian tak menentu.
Pada 2030, Septriono memperkirakan sekitar 13.000 hektar Kota Semarang akan tergenang banjir akibat penurunan permukaan tanah, dan naiknya permukaan laut.
Baca Juga: Penyebab Banjir: Beralihnya Lahan Hutan Menjadi Kebun Sawit dan Karet
Sebagai solusi terbaik, ia menyarankan agar membuat pintu keluar masuk air laut, dan tanggul pantai yang lebih tinggi dari perkiraan ketinggian air laut. Otoritas setempat perlu pula memperhatikan laju penurunan tanah untuk mengetahui secara pasti tinggi tanggul yang perlu dibuat.
Untuk memperhatikan laju penurunan tanah, Irvan menambahkan, agar menambah titik pengamatan di beberapa lokasi untuk pengkajian lebih banyak di masa mendatang.
Source | : | ResearchGate |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR