Tidak itu saja, di sebelah barat laut candi Borobudur juga ditemukan fondasi. Kali ini beserta sejumlah paku, besi, pecahan gerabah dan tembikar halus, guci, keramik China dinasti Tang, abad ke-9 seusia dengan Borobudur, cermin perunggu, dan sebuah genta. “Ini menunjukkan kemungkinan adanya vihara untuk para bhiksu pengelola candi yang terletak di luar halaman candi,” jelas Marsis Sutopo, kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur.
Tidak hanya di kaki bukit candi, sepuluh kilometer jauhnya, tepatnya di dusun Ngrajek, Mungkid--sebelah utara Candi Borobudur--sisa fondasi lain ditemukan. Fondasi bata ini ditemukan saat penduduk akan membangun rumah. Tidak hanya sisa fondasi, di sekitarnya juga ditemukan batu berelief, arca Nandi--seekor lembu dalam mitologi agama Hindu--serta sejumlah artefak.
Karenanya, pada 2002, Balai Konservasi Peninggalan Borobudur melakukan penelitian lapangan soal penemuan tersebut. Tujuannya mencari jejak situs purbakala di sekitar Candi Borobudur. Khususnya di dataran rendah Kedu yang mengelilingi Candi. Mereka berbekal buku Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch Indie, ROD ( 1914)--laporan penelitian Belanda soal temuan situs Hindu di sekitar Borobudur, serta survei lapangan dan penggalian cepat yang dilakukan hampir setahun.
Hasilnya, ditemukan sebaran situs terserak hingga 9 kecamatan-- Muntilan, Dukun, Mungkid, Sawangan, Salam, Srumbung, Borobudur, Tempuran, dan Salaman--seperti mengepung Candi Borobudur, dengan radius hingga 15 kilometer dari poros, Candi Borobudur. “Diperoleh data arkeologis berupa 14 situs Hindu, 4 situs Buddha, 26 diduga situs, dan 32 nonsitus,” jelas Marsis.
Percandian di sekitar Borobudur ini diperkirakan dibangun semasa dengan Candi Borobudur. Yakni abad ke 8-9 Masehi. “Jadi agak sulit menerima Borobudur dikepung danau saat dibangun,” kata Marsis. Apa lagi tidak ditemukan satu data arkeologis-pun seperti tinggalan prasasti yang menyebut soal danau. Padahal, kala itu, masyarakat pembangun Borobudur sudah melek huruf.
!break!
Borobudur sendiri sebenarnya banyak disebut di sejumlah prasasti. Baik prasasti yang seusia dengan masa pembangunan candi atau prasasti yang ditulis ratusan tahun setelah Borobudur berdiri.
Sebut saja misalnya Prasasti Karang Tengah yang diterbitkan pada 824 Masehi. Prasasti itu menyebut bhumisambharabudhara yang diidentifikasikan sebagai Candi Borobudur oleh arkeolog Belanda JG de Casparis. Kitab Sutasoma yang ditulis Mpu Prapanca juga menyebut tentang sebuah biara di Budur. Sementara Babad tanah Jawi (1709-1711) berkisah soal ditangkapnya pemberontak di sekitar Borobudur. Namun, semuanya tak menyinggung tentang danau.
Sebenarnya, sejumlah arkeolog menyepakati adanya danau di sekitar Borobudur. “Tapi jauh sebelum Borobudur dibangun,”kata Junus Satrio Atmodjo, Direktur Peninggalan Purbakala, Departemen Budaya dan Pariwisata. “Ketika Candi dibangun, danau telah kering,” imbuhnya.
Alasannya jelas, buat membangun candi yang megah seperti Borobudur--tinggi candi 42 meter, memiliki 10 tingkat, 1.460 panel selebar 2 meter, 1.212 panil relief dan 504 patung Buddha-- dibutuhkan sumber daya alam dan manusia yang besar. Apa lagi Borobudur tak dibangun satu atau dua tahun, tetapi nyaris 50 tahun. Karenanya dibutuhkan sistem produksi pangan berkelanjutan yang baik sebagai pemasok logistik para pekerja. “Jika di sekelilingnya danau, di mana sawahnya?” jelas Junus.
Soal hipotesis Nieuwenkemp tentang keberadaan danau yang ditandainya dengan banyaknya kampung yang memiliki kata “tanjung” dan “segara”--kajian toponimi—di antaranya Tanjungsari, Bumisegoro, Sabrangrowo, Segaran dan Wanurejo mungkin berasal dari Banyurejo. Junus melihatnya malah menebalkan keyakinan bahwa danau telah mengering dan bersalin rawa. “Lahan seperti ini jelas subur dan tak menutup kemungkinan danau kering ini yang disulap jadi sawah,” kata Junus.
Pendekatan toponimi—ilmu kebumian yang mengkaji dan mempelajari permasalahan penamaan unsur geografi, baik buatan alam maupun manusia—yang dilempar Nieuwenkemp ternyata dapat juga dipakai buat menjelaskan bagaimana lingkungan budaya Kedu saat Borobudur dibangun.
Adalah Sumardjoko mantan camat Borobudur yang bertahun-tahun tertarik dengan penamaan kampung “unik” di sekitar Candi Borobudur. Menurut Sumardjoko berdasarkan Prasasti Kayumwungan 824 M, sistem administrasi desa di sekitar candi memiliki otonomi yang luas. Kata Crimadwenuwana pada prasasti dapat diartikan wenua, desa yang berdiri sendiri yang berkewajiban mengurusi bangunan suci. “Desa pada masa itu mungkin kota pada masa sekarang,” tambahnya.
Proses pembangunan candi Borobudur juga meninggalkan jejak pada penamaan kampung. Sebut saja misalnya, Desa Pare, 4 kilo dari Candi Borobudur berasal dari kata paren--bahasa jawa kuna-- yang artinya padi. “Desa ini mungkin dulunya dijadikan sawah,” jelasnya. Atau desa Bogowanti, Bogo artinya pangan dan wanti atau wandi berarti warung atau depo. “Setalah panen, padi dikumpulkan di sini,” kata Sumardjoko.
Soal pembagian kerja dalam pembangunan candi juga bisa ditelusuri lewat toponimi. Ada Bukit Dagi-berlokasi 1 kilometer di barat laut Borobudur- yang dalam bahasan Jawa Kuna, dagi berarti pemahat. Atau dusun Jagalan, yang berasal dari kata jelagra, artinya pemecah batu.
Di depan pintu masuk candi Borobudur, ada desa Kenayan. Dalam bahasa Jawa Kuna berasal dari kata kenoyo, artinya abdi, kuli atau tenaga kasar. “Mungkin di sinilah dulu asrama para pekerja pembangun Borobudur,” jelas Sumardjoko. Atau desa Janan, kini berlokasi di belakang pasar Borobudur, kemungkinan berasal dari kata saujanan yang artinya sarjana. “Bisa jadi di sinilah asrama para arsitek pembangun candi,” tegasnya.
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |