Nationalgeographic.co.id—Sebelum menjadi kota besar seperti sekarang ini, Malang dulunya merupakan wilayah pedalaman yang dianggap tak potensial secara ekonomi. Evolusi perekonomian Malang tercatat dalam transaksi keuangan yang terjadi di bank-bank di sana, mulai dari masa penjajahan Belanda, kependudukan Jepang, hingga kemerdekaan Indonesia kini.
Sejak dulu hingga kini, Malang merupakan wilayah indah dengan kekayaan alam melimpah. Dulu wilayah Malang banyak diisi oleh rimba. Memiliki sungai dan pegunungan terbesar di Jawa Timur, Malang ternyata kemudian tampil sebagai penyedia komoditas perdagangan.
Dalam acara Bedah Buku “Dari Rimba ke Kota: Bank Indonesia Dalam Evolusi Malang Raya” yang diadakan Bank Indonesia Institute (BI Institute) pada Selasa (16/3/2021), diceritakan bahwa wajah Malang perlahan berubah ketika adanya penerapan kebijakan Tanam Paksa sejak tahun 1830. Aktivitas perkebunan di Jawa Timur mulai berkembang, dimulai dari Pasuruan hingga Malang. Perlahan, Malang tampil menjadi produsen komoditas kopi dan tebu.
Tahun 1870 menjadi titik balik perubahan ekonomi Malang. Maraknya pembukaan perkebunan membawa wilayah ini menjadi pusat perkebunan terkemuka di Jawa Timur. Evolusi ekonomi yang terjadi mengantarkan Malang yang sebelumnya dianggap tidak potensial secara ekonomi menjadi wilayah yang diperhitungkan.
Memasuki abad ke-20, kemunculan berbagai perkebunan dan industri gula menandai pesatnya ekonomi Malang. Kemajuan Malang sebagai pusat perkebunan, mengantarkan kota ini mendapat status Kotapraja dari pemerintah Hindia Belanda pada 1914. Moderninasi kota pun dilakukan dengan membangun berbagai infrastruktur penunjang perkotaan.
Baca Juga: Manisnya Pabrik Gula Era Hindia Belanda yang Kini Masih Terasa
Perkembangan ekonomi yang masif ini membuat direksi De Javasche Bank (DJB) tertartik untuk membuka kantornya di Kota Malang. Keberadaan perkebunan dan konsentrasi permukiman Eropa yang besar membuat DJB memandang wilayah ini sebagai daerah yang menguntungkan sehingga membutuhkan keberadaan lembaga perbankan.
Kejayaan dan kemajuan ekonomi Malang harus runtuh ketika pada tahun 1942 terjadi invasi oleh bala tentara Jepang. Tak lama kemudian, terjadi perubahan tatanan politik dan ekonomi di Indonesia, termasuk di Malang, oleh Jepang. Di bidang ekonomi pemerintah Jepang membubarkan DJB dan menggantikan perannya dengan Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG) sebagai bank sirkulasi.
Pada periode awal kemerdekaan, di tengah perekonomian Indonesia yang memburuk, Belanda berupaya kembali menguasai Indonesia dan mendirikan DJB. Di Malang terjadi perlawangan yang dikenal Peristiwa Bumi Hangus yang melumpuhkan sendi-sendi ekonomi.
Pasca pengakuan kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), barulah dilakukan upaya rekonstruksi perekonomian nasional. Dalam bidang perbankan, pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi atas DJB dengan cara membeli 97% saham kepemilikannya dan menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 sebagai penanda pendirian Bank Indonesia.
Roda masa terus berputar, wajah Kota Malang pun terus berubah. Evolusi perekonomian membawa Malang dari ekonomi perkebunan beralih menjadi sektor jasa. Untuk mengawal transformasi ekonomi Malang, Bank Indonesia Kantor Perwakilan Malang kemudian hadir dan menjalin kerja sama strategis dengan pemerintah daerah dalam mendukung laju perekonomian di sana.
Baca Juga: Ketika Setengah Kilogram Pala Banda Dibeli Seharga Tujuh Sapi Gemuk
Malang terus berevolusi dari rimba menjadi kota kini yang terkenal dengan kesejukan dan kekayaan alam serta destinasi wisatanya. Perubahan ini telah membawa Malang memainkan peran penting sebagai salah satu kota penopang ekonomi Jawa Timur.
Dr. R. Reza Hudiyanto, M.Hum., Dosen Prodi Ilmu Sejarah Universitas Negeri Malang sekaligus penulis buku yang dibincangkan dalam acara bedah buku ini, mengatakan konteks judul "Dari Rimba Menjadi Kota" pada buku ini adalah berusaha menjawab berbagai keraguan terhadap eksistensi Malang sebagai daerah pedalaman.
Ia menjelaskan alasan pertama memakai kata "Rimba" dalam buku ini adalah untuk "untuk paying attention atau semacam menarik perhatian."
"Karena kalau saya saya pakai kata 'Desa', itu sudah banyak dipakai dalam judul buku yang lain: 'Dari Desa Menjadi Kota'," aku Reza.
Selain itu, berdasarkan hasil risetnya, Reza menemukan bahwa dulu memang banyak warga Malang yang tinggal di pedalaman. "Jadi sebagian besar penduduk di wilayah Malang itu hidup tersebar ke wilayah desa-desa kuno, dan kehidupan di desa-desa kuno itu lebih mengandalkan pada mata air. Dan antara desa satu dengan desa lainnya itu dipisahkan oleh semacam hutan-hutan yang besar," tuturnya.
Keragaman dan perubahan perilaku ekonomi dari masyarakat Malang yang dulu banyak hidup di pedalaman hingga kini menjadi warga kota itulah yang kemudian dinarasikan dalam buku ini.
Baca Juga: Saat Pulau Run di Maluku Ditukar dengan Manhattan di Amerika
Prof. Dr. Hariyono, M.Pd., Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Malang sekaligus Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI, berharap pembaca dapat belajar banyak dari buku ini. "Kita tidak hanya belajar sejarah, tapi juga belajar dari sejarah," ujarnya.
"Karena dalam sejarah ada perubahan dalam keberlanjutan sehingga di sini kita perlu memahami kehidupan berbangsa dan bernegara kita berbasis pada realitas sosiokultural masyarakat Indonesia dan proses eksekusi kebijakan. Yang inilah kementerian maupun lembaga negara sering kali dalam proses eksekusi itu kurang tepat karena proses pelembagaan memori pengetahuan itu belum maksimal," bebernya.
Cerita evolusi perekonomian Malang yang dicatat dalam buku ini adalah sebuah upaya pelembangan memori pengetahuan tersebut. "Mudah-mudahan buku ini bisa menjadi pemantik kita bersama, khususnya BI Institute dan Bank Indonesia pada umumnya, dalam mengembangkan relasi perbankan dengan masyarakat," harap Hariyono.
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR